Sejak masih kecil, Abu sudah mulai belajar mengaji kepada kakeknya Kyai Makidin. Karena ketekunan serta kecerdasan yang dimiliki, dengan cepat beliau dapat menguasai semua ilmu agama yang diajarkan kakeknya. Setelah tamat belajar mengaji, dia diangkat sebagai kyai untuk membantu kakeknya. Hal tersebut sudah jauh-jauh dicadangkan kakeknya, dengan harapan di belakang hari dapat menggantikannya bila sudah tua.
Pada waktu Kyai Makidin wafat, jenazah beliau dimakamkan di belakang balai besar Kuwaron (sekarang berada di sebelah utara masjid besar Kuwaron). Adapun pimpinan pondok pesantren dan imam masjid pedukuhan Kuwaron, dilanjutkan Kyai Abu cucunya yang sudah menjadi kyai disana. Ternyata selama pondok pesantren Kuwaron itu berada di bawah pimpinan Kyai Abu, mengalami kemajuan sangat pesat. Banyak penduduk luar desa Kuwaron datang berguru, dan kemudian menetap di pedukuhan itu. Karena jumlah penduduk semakin bertambah banyak, sehingga muncul beberapa pedukuhan baru yang berada di sekitar pedukuhan Kuwaron. Karena itu Kyai Abu menggabungkan menjadi satu, dan dibentuk menjadi desa yang diberi nama “Kuwaron”.
Walau di desa Kuwaron sudah mempunyai pondok pesantren besar, tetapi menurut Kyai Abu masih juga dirasakan adanya kekurangan. Adapun kekurangan yang ada, karena di desa tersebut belum mempunyai masjid. Pada waktu itu masyarakat desa Kuwaron ketika menjalankan ibadah sholat bersama,dilaksanakan di balai besar peninggalan para santri waktu dulu. Karena warga desa yang melakukan jamaah sholat semakin bertambah banyak, sehingga balai besar itu tidak dapat menampung lagi. Karena itu atas prakarsa beliau, balai besar kemudian dibongkar dan dipindah menghadap Timur untuk dijadikan masjid. Dengan demikian balai besar yang semula berada di sebelah utara pohon asam besar, dipindah ke sebelah selatan. Tetapi sayang pohon asam yang menjadi saksi bisu berdirinya masjid Kuwaron, beberapa waktu lalu tumbang karena lapuk.
Kerja sama antara Kyai Abu dengan lurah Marto Wiguna sangat baik, dan hasil kerja sama kedua pimpinan tersebut antara lain banyak mendirikan surau. Selain itu didirikan pula bangunan pondok pesantren, terletak di lingkungan masjid Kuwaron.
Kyai Abu menikah dengan Nyi Dasimah dari desa Kemiri Gubug, mempunyai tujuh orang putra yang bernama : Dasuki, Muh Sahir, Khanafi, Nursiyah, Siti, Khozinah, dan Muntamah. Putra-putranya diajarnya sendiri tentang mengaji dan ilmu agama, agar dapat berguna di kemudian hari. Namun pada suatu ketika Kyai Abu bermaksud pergi ke kota suci Mekah, guna melaksanakan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama Islam di sana. Sebelum berangkat ke tanah suci, terlebih dahulu menyerahkan pimpinan pondok pesantren dan imam masjid Kuwaron kepada Kyai Dasuki putranya tertua. Disamping itu beliau juga memberi tugas Kyai Sukemi, agar membantu kakak iparnya melaksanakan tugas. Bertahun-tahun lamanya Kyai Abu yang bergelar Kyai Abu Yusuf berada di tanah suci Mekah, dan pada suatu hari terdengar kabar bahwa beliau wafat dan jenazahnya dimakamkan di Mekah. Sangatlah sedih hati semua keluarga beserta para santrinya ketika mendengar kabar duka itu, dan selama 7 hari di masjid Kuwaron diadakan tahlilan untuk mendoakan arwah beliau. Dengan wafatnya Kyai Haji Abu Yusuf, pimpinan pondok dan imam masjid diteruskan Kyai Dasuki yang dibantu Kyai Sukemi adik iparnya.
Walau Kyai Dasuki waktu itu yang mendapat kepercayaan memimpin pondok pesantren dan sebagai imam masjid, tetapi yang melaksanakan tugas sehari-hari adalah Kyai Sukemi. Namun pada suatu hari Kyai Dasuki mempunyai niat mengabdikan diri dalam bidang pemerintahan desa, dengan menjadi modin (perangkat desa) di desa Kuwaron. Kepercayaan yang diberikan ayahnya, diserahkan sepenuhnya kepada Kyai Sukemi. Konon menurut cerita ketika Kyai Dasuki menyerahkan kepercayaan kepada Kyai Sukemi, telah mengatakan bahwa untuk seterusnya pondok pesantren dan imam masjid Kuwaron tetap dipegang keturunan Kyai Sukemi saja
0 komentar:
Posting Komentar