Rabu, 30 Desember 2009

Kawedanan Singenkidul



Yang dimaksud kawedanan Singenkidul disini, adalah nama pusat pemerintahan Kawedanan di kabupaten Grobogan. Pemerintahan kawedanan tersebut membawahi 4 wilayah kecamatan, terdiri dari kecamatan Tanggungharjo, Kedungjati, Tegowanu dan Gubug. Sekarang pemerintahan tingkat Kawedanan sudah dihapus, dan tiap kecamatan langsung di bawah pemerintahan kabupaten. Sebagai batasan cerita ini, hanya berkisar di wilayah 4 kecamatan saja. Legenda atau cerita yang ditulis, kebanyakan berkaitan dengan peninggalan atau nama desa yang dipercaya ada hubungan dengan kegiatan pendirian kraton dan masjid Demak. Ada juga cerita lain, yang berhubungan dengan pengembangan agama Islam di wilayah kawedanan Singenkidul.
Bila mengupas pemerintahan tingkat kawedanan, tidak lepas dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda waktu dulu. Semua kebijakan yang diambil, tentu untuk kepentingan pemerintahan mereka. Menurut penjelasan Tim Peneliti UNS (1991), pada tahun 1840 sistem administrasi wilayah dikembangkan seperti pola administrasi di negara Belanda. Berdasar pola tersebut, dikeluarkan Serat Angger-angger Nagari atau Serat Angger-angger Gunung yang menyangkut aturan, tata tertib maupun pemerintahan pedesaan. Pada awalnya untuk menjaga keamanan wilayah, diperlukan pos-pos penjagaan keamanan. Pos-pos penjagaan itu ditempatkan di sepanjang jalan, antara wilayah Surakarta-Semarang dan Surakarta-Yogyakarta-Semarang. Pos-pos penjagaan itu diberi nama pos tundan. Wilayah Gubernemen juga ditertibkan, dengan dibentuk Regenchap atau kabupaten Administratip. Pembentukan pos tundan ditingkatkan, dengan dibentuk Kabupaten Gunung Polisi yang diatur berdasarkan Staatblad 1847 nomor 30. Sedang kelengkapannya diatur berdasarkan Staatblad Van Ned. Indie 1854 nomor 32. Saat itu tugas Bupati adalah sebagai Bupati Prajurit, merangkap Kepala Pengadilan Wilayah yang bertindak sebagai Polisi Daerah. Abdi Dalem Wedono dan Panewu Mantri masuk golongan polisi, yang merangkap pelaksana dalam bidang pemerintahan. Kawedanan Singenkidul awalnya juga merupakan pos tundan. Pada tahun 1847 pos tundan beralih menjadi pemerintahan kawedanan, dan diberi nama kawedanan Singenkidul. Pos tundan itu terletak di desa Rowosari, yang terletak di sebelah barat daya kota Gubug. Sayang tidak ada data yang menjelaskan, mengapa waktu itu letak pos tundan berada di pedesaan yang jauh dari jalan raya. Menurut cerita yang beredar di masyarakat, bahwa pemberian nama Singenkidul diambil dari kata singen (dahulu) berada di sebelah kidul (selatan). Karena letak kantor kawedanan dulu di sebelah Selatan desa Gubug, maka diberi nama kawedanan Singenkidul. Tetapi ada cerita bahwa nama itu diambil dari pohon singen besar, yang tumbuh di halaman kantor. Karena dari jauh hanya pohon singen itu yang tampak, sehingga kantor kawedanan diberi nama Singenkidul. Mana yang benar versi pemberian nama itu, wa llahu a’lam bish shawab.
Menurut cerita, kantor kawedanan Singenkidul itu menghadap ke Utara. Bentuknya sederhana, dinding terbuat dari anyaman bambu dilapisi kotoran lembu dan aspal. Agar tampak bersih, dicat putih menggunakan kapur (gamping). Di halaman kantor terdapat pohon singen, yang tumbuh besar dan rindang. Di depan kantor ada jalan desa, menuju ke Utara dan tembus jalan yang menghubungkan kota Semarang - Salatiga - Demak - Grobogan. Sampai sekarang jalan itu masih ada, yang digunakan penduduk pergi ke sawah. Tetapi sayang, ujung jalan di desa Gubug tertutup terminal bis antar Provinsi. Sebelum kantor kawedanan Singenkidul dipindah ke Gubug, terlebih dahulu dibangun rumah dinas pejabat wedono. Rumah dinas itu sangat besar berbentuk limasan, dilengkapi pendopo yang luas. Di depan kantor didirikan rumah tahanan yang kokoh. Dinding dan pintunya dibuat dari kayu jati tebal, bagian luar dan dalam dicat hitam menggunakan aspal. Dapat dibayangkan, betapa gelap bila berada di dalam rumah tahanan itu. Setelah rumah dan kantor kawedanan selesai dibuat, dipindahnya kantor kawedanan dari desa Rowosari ke desa Gubug. Sayang tidak ada catatan, kapan bangunan kantor itu didirikan. Juga tidak ada data, kapan pindahnya kantor kawedanan dari desa Rowosari ke desa Gubug. Kemungkinan pindahnya kantor kawedanan itu, hampir bersamaan dengan dipindahkannya masjid Gubug dari pinggir sungai Tuntang ke tempat sekarang ini.
Bila pindahnya kantor kawedanan dihubungkan dengan pindah masjid Gubug ke tempat baru, mungkin terjadi sebelum tahun 1900. Dipindahnya masjid Gubug berdasarkan data yang ada, terjadi pada tahun 1902. Bukti tahun kepindahan masjid Gubug, seperti tertera pada prasasti di dalam masjid yang berbunyi : ”Ingkang paring idine pangalihing masjid punika Kanjeng Raden Mas Tumenggung Harjo Purbo Hadiningrat Bupati ing negari Semarang wondene Kanjeng Raden Hamngabehi Hadi Prodjo wedono negari Gubug Bangun Mas Muhammad Naib Al-Qodli Gubug kolo hadeke masjid ing dinten Ahad Legi tanggal 14 Robi’ul Awwal (sanah bin akhir) tahun jim akhir 1322 (H) 1822 tahun (jowo) Syahru 26 Mehi 1902 (M)". Rupa-rupanya wedono Bangun Mas Muhammad masih memegang tradisi budaya Islam zaman dulu, dengan berdirinya suatu kerajaan yang harus dilengkapi masjid. Maka setelah kantor kawedanan dipindahkan, masjid Gubug di bantaran sungai Tuntang dipindah di depannya. Bangunan masjid Gubug dulu, berbentuk rumah adat Jawa model pencu tinggi. Serambi depan berbentuk limasan, dengan dinding terbuat dari kayu jati. Didirikan di atas umpak tinggi, berlantai papan jati. Seluruh bangunan dicat hijau, sehingga menunjukkan suasana teduh dan damai. Berdasarkan data yang ada, diketahui masjid Gubug dibuat tahun 1895 M. Tahun pembuatan masjid dapat dilihat, pada pahatan yang ada pada salah tiangnya. Dalam masjid juga ada mimbar, yang dibuat tahun 1897 M. Tahun itu juga dapat dilihat, dari adanya tulisan tahun pada mimbar. Dibangun juga menara cukup tinggi di sebelah kanan serambi. Di kanan dan kiri serambi masjid, dibuat kolah besar tempat wudlu.

Sabtu, 19 Desember 2009

Orang Cina Datang Ke Gubug

Dijelaskan dalam buku “Sejarah Hari Jadi Kabupaten Grobogan” karangan Tim Peneliti UNS Surakarta (1991), bahwa Belanda lebih suka memilih orang Cina sebagai partner kerja. Waktu itu orang Cina dipercaya, memungut pajak dari warga pribumi. Selain itu juga diberi kebebasan, menjadi tengkulak atau pengijon di tingkat Distrik (Kawedanan). Melihat hasil bumi desa Gubug yang berlimpah, ada beberapa taoke dari Semarang datang membeli. Sejak itu setiap pagi ada iring-iringan gerobag ditarik lembu, datang dari Semarang menuju desa Gubug. Sore hari iring-iringan gerobag kembali ke Semarang, membawa muatan hasil bumi.
Ternyata mereka juga menjadi reintenir, dengan bunga tinggi. Akibatnya para petani tidak dapat mengembalikan hutang, terpaksa menjual hasil panen kepada taoke dengan harga murah. Ada juga yang yang tidak bisa membayar hutang, terpaksa menjual tanaman padinya dengan sistem ijon. Karena desa Gubug dipandang aman, ada orang Cina membeli sebidang tanah di Gubug. Mereka memilih tanah pinggir jalan, menuju pasar Gubug. Hal tersebut penting, karena mempermudah pembelian polowijo dari penduduk pribumi. Maka setiap pagi hari, di depan rumah terlihat timbangan dacin tergantung pada tiang bambu berkaki tiga. Terdengar suara keras mereka, saat menawar padi atau polowijo yang akan dibelinya. Pekerjaan yang mereka lakukan itu, oleh orang Cina dinamakan batiak.
Melihat hasil panen padi di desa Gubug yang berlimpah, ada 3 orang Cina kaya membuka usaha penggilingan padi. Karena itu di desa Gubug waktu dulu, ada 3 pabrik penggilingan padi besar. Pabrik padi tersebut adalah pabrik kidul (selatan) karena letaknya di sebelah selatan, pabrik tengah karena letaknya di tengah dan pabrik lor (utara) karena letaknya di utara. Beras hasil penggilingan dikirim ke Semarang, atau ke kota besar di tanah Jawa. Untuk menampung hasil pembelian padi dari petani yang berlimpah, tiap pabrik padi memiliki halaman yang luas sebagai tempat jemuran dan menumpuk padi yang akan digiling. Karena itu terlihat masing-masing pabrik penggilingan padi, akan memiliki banyak tumpukan padi yang tinggi.
Pada suatu ketika orang Cina desa Gubug ingin mendirikan klenteng. Dengan cara iuran mereka mengumpulkan dana, untuk dibelikan bahan bangunan yang dibutuhkan. Didatangkan tukang kayu dan tukang batu dari Semarang dan Jepara. Sebagai perancang bangunan, ditunjuk seorang Cina dari Semarang. Untuk mengerjakan bangunan klenteng membutuhkan waktu lama, karena membutuhkan ketelitian guna menunjukkan adanya unsur seni Cina. Berdasarkan pahatan tulisan pada bagian atap, diketahui dibuat tahun 1868 M. Bentuk tulisannya berhuruf Wei Yhang (suatu sandi berhuruf Cina), bila diterjemahkan akan menunjukkan angka tahun tersebut. Di dalam klenteng dibuatkan altar besar, yang dipenuhi ornament berbentuk bunga. Altar tersebut diletakkan pada bagian utama, di atasnya diletakkan kimsin (patung dewa) serta tempat menancapkan batang hio soa.

Suasana klenteng akan ramai, bila warga Cina merayakan tahun baru Imlek. Dengan iuran mereka mendatangkan pertunjukan wayang Poo The Kie (wayang golek asli Cina) dari Semarang. Pertunjukan itu menceritakan lakon babat asli, yang ada di negara Cina. Cerita yang dimainkan kebanyakan tentang kerajaan atau pahlawan, yang pernah ada di negara Cina zaman dulu. Pertunjukan berlangsung berhari-hari, bahkan kadang juga berlangsung hampir satu bulan. Kebahagiaan orang Cina waktu itu, ternyata dinikmati juga oleh penduduk pribumi. Mereka dapat ikut melihat pertunjukan wayang poo The Hie, yang diselenggarakan oleh orang Cina. Sejak sore mereka berkumpul di halaman klenteng, menunggu pertunjukan wayang potehi dimulai. Di sekitar klenteng juga ada orang pribumi, yang berjualan makanan kecil. Mereka menjajakan makanan ringan khas pedesaan, berupa kacang rebus, kentang hitam rebus, ketela rebus. Setelah pertunjukan wayang potehi dimulai, semua penonton duduk di depan panggung sambil menikmati makanan kecil yang dibelinya. Dalam hal ini penduduk pribumi hanya menonton gerak-gerik wayang, karena dalang menggunakan dialog bahasa Cina yang tidak diketahuinya. Tetapi mereka akan ikut bersorak, bila tokoh yang dikaguminya menang perang. Berdasarkan penjelasan Sagiyo Waluyo dalam majalah Panyebar Semangat bulan Januari 2009, bahwa wayang Poo The Hie berasal dari desa Hokkian di negara Cina. Pertunjukan itu diiringi musik, yang dimainkan lima orang. Jenis musik tersebut berupa dongke (tambur Cina), sian bak (toala siaw-trompet), erhu (rebab), ya na (melodi kecil), dan siau sen (suling). Cerita yang sering dimainkan, antara lain Sie Djin koei, Sun Go Kong, Kwe Tju Gie, Sun Pin, Tek Dje Heng, Sie Kong. Adapun crita yang dianggap kramat untuk dimainkan adalah Sam Kok (tiga Negara), dan Hong Sin (penganugerahan para malaikat). Biasanya dalang wayang Poo The Hie akan berpuasa lebih dahulu, bila akan memainkan cerita yang dianggap keramat. Dalang juga tidak boleh salah dalam memainkan wayang, karena dapat mendatangkan petaka bagi penontonnya. Rupa-rupanya ada keinginan warga Cina, untuk memiliki alat permainan liong. Permainan itu asli negara RRC, yang sudah dimiliki klenteng-klenteng besar di Jawa. Bentuk alat permainan berupa naga tiruan, mempunyai panjang sekitar 12 m. Memainkan liong dibutuhkan 9 orang, yang mengupayakan agar liong melenggak-lenggok seperti ular berjalan. Untuk musik pengiring, dibutuhkan 4 orang penabuh bedug, kencreng dan gembreng. Setelah memiliki alat permainan liong, setiap sore pemuda-pemuda Cina berlatih bermain di halaman klenteng. Ramai bunyi musik pengiring, yang mengundang penduduk sekitar datang menonton. Konon orang Cina juga mempunyai gagasan, memiliki tanah makam khusus warga Cina. Tempat yang diinginkan adalah di pegunungan, yang jauh dari pusat keramaian. Hal itu disesuaikan dengan budaya asli leluhur mereka, yang memakamkan jenazah di pegunungan. Menurut kepercayaan bahwa dengan memakamkan jenazah di tempat yang tinggi, arwahnya akan selalu dekat dengan para dewa. Atas bantuan pemerintah Belanda, mereka berhasil memiliki sebidang tanah di desa Kuwaron. Walaupun tidak di atas bukit, tetapi tanah itu agak tinggi dibandingkan tanah di sekitarnya. Karena jumlah warga Cina masih sedikit, hanya beberapa jenasah saja yang telah dimakamkan di situ. Tetapi dengan berkembangnya penduduk, makam cina di desa Kuwaron dianggap tidak memadai lagi. Atas bantuan pemerintah Belanda, mereka berhasil mendapat tanah lebih luas di daerah pegunungan. Letaknya di desa Kapung, kurang lebih 6 kilo meter di sebelah selatan desa Gubug. Sejak itu makam Cina di desa Kuwaron tidak digunakan lagi, dan dialihkan ke tempat pemakaman baru di Kapung sampai sekarang. Sayang tidak ada catatan yang menjelaskan, sejak kapan makam itu mulai dipakai. Makam cina di desa Kuwaron yang tidak digunakan, sekitar tahun 1965 diambil alih pemerintah Kabupaten Grobogan untuk mendirikan Sekolah Tehnik Negeri. Beberapa buah makam warga Cina digali, untuk dipindahkan ke pemakaman Cina di desa Kapung. Waktu diadakan penggalian makam, banyak peti mati (terbelo) yang masih utuh. Di dalam terbelo ditemukan perhiasan emas berupa gelang dan kalung, yang terletak di samping kerangka jenazah. Menurut cerita warga Cina sendiri, bahwa keluarga sengaja memasukkan benda yang disayangi oleh orang yang meninggal dunia, Adapun tujuannya agar arwah orang yang meninggal dunia tidak penasaran, karena selalu ingat benda-benda kesayangannya yang tertinggal di alam dunia. Ada juga yang memasukkan beberapa uang logam, dan katanya sebagai bekal perjalanan orang yang meninggal dunia. Hal itu sampai sekarang masih dilakukan, oleh mereka yang masih percaya adat leluhurnya.

Mbah Pilang

Menurut cerita orang-orang tua desa Gubug, bahwa waktu dulu krajan desa Gubug ada di seputaran pasar Gubug sekarang ini. Wilayahnya meliputi dukuh Pilang Wetan, Pilang Lor, Pilang Kidul dan Kemiri. Tetapi dukuh Pilangwetan dan Kemiri memisahkan diri, dan berdiri menjadi desa. Desa Pilangwetan masuk kabupaten Demak, sedang desa Kemiri masuk wilayah kabupaten Grobogan. Konon dulu lurah desa Gubug (tidak diketahui namanya), mempunyai menantu bernama Sobariman. Menurut cerita, dia berasal dari daerah Demak.
Sobariman diberi tanah dan sawah oleh mertuanya, terletak di pedukuhan Pilangkidul sekarang. Karena tekun mengolah sawah, keluarganya dapat  hidup kecukupan. Keluarga Sobariman senang membantu warga, yang sedang tertimpa kesusahan. Sering memberi petuah dan jalan keluar yang baik, terhadap warga yang tertimpa masalah. Warga yang dibantu tidak hanya dari daerah sekitar, tetapi juga warga dari pedukuhan lain yang masih di wilayah desa Gubug sendiri. Karena kewibawaan serta kesenangan membantu warga, sehingga beliau dipilih warga menjadi kepala dukuh. Walau sudah menjadi kepala dukuh, beliau tidak juga mengurangi kesenangannya membantu warga yang tertimpa kesusahan. Karena itu nama beliau terkenal di desa Gubug, bahkan sampai di lain daerah.
Menurut cerita disamping senang membantu warga, beliau juga senang menyadarkan orang yang berbuat kesalahan. Adapun cara yang dipakai, konon menggunakan cara yang unik. Pernah pada suatu hari ada pencuri tertangkap warga, dan diserahkan kepada beliau sebagai kepala dukuh. Beliau tidak menyerahkan kepada upas kantor kawedanan, justru diajak makan bersama. Setelah selesai makan, pencuri diberi nasehat dan disuruh pulang. Uniknya pencuri itu masih diberi beberapa ikat gabah dan uang saku. Konon sejak itu, pencuri menjadi jera dan bertobat tidak melakukan perbuatannya lagi. Cara unik seperti itu rupanya yang dilakukan beliau, guna menyadarkan orang yang melakukan perbuatan salah.

Sobariman wafat dalam usia tua, dan jenazahnya dimakamkan di pedukuhan Pilang Kidul. Karena letak makam beliau berada di pedukuhan Pilangkidul, maka sampai sekarang beliau dipanggil MBAH PILANG. Walau sudah meninggal dunia, tetapi warga dukuh Pilangkidul bahkan warga desa Gubug masih mengenang jasa beliau terhadap warga. Oleh warga desa Gubug, kompleks makam beliau sekarang dibangun megah. Bahkan sampai sekarang masih banyak warga desa setempat yang tertimpa kesusahan, datang ke makam beliau untuk minta petunjuknya. Ada pula warga yang datang, hanya untuk ngluwari ujar. Hal tersebut dilakukan, sesuai apa yang diucapkan bila keinginannya terkabulkan. Untuk mengenang jasanya terhadap warga desa Gubug dulu, setiap tanggal 1 Syuro warga desa Gubug mengadakan acara haul bagi beliau.

Petilasan Batursigit

Setelah rakit yang rusak selesai diperbaiki, perjalanan dilanjutkan lagi. Tetapi ketika sampai di suatu pedukuhan (sekarang daerah Ngroto-Gubug), ada salah satu rakit tersangkut pohon di pinggir sungai. Karena tali pengikat rakit putus, rombongan berhenti untuk mengikatnya.
Ketika para santri sedang mengikat rakit, tiba-tiba terdengar suara adzan magrib dari arah dukuh di dekatnya. Para santri bergegas menuju dukuh itu, untuk melaksanakan sholat. Ketika bertanya pada penduduk, dijawab bahwa di daerah itu tidak ada surau. Akhirnya para santri melaksanakan sholat pada sebidang tanah datar, yang terletak di pinggir sungai. Demikian juga waktu Imsya, suara adzan terdengar kembali. Mereka berusaha mengamati arah datangnya suara adzan itu. Menurut mereka datangnya suara adzan dari arah Barat Laut, searah dengan kraton Glagahwangi.
Konon cerita di tempat itu,  rombongan bermufakat akan mendirikan masjid. Mereka akan mendirikan masjid itu, hanya dalam waktu semalam. Malam itu bulan bersinar sangat terang, sehingga sinarnya dapat membantu para santri dalam bekerja. Secara beramai-ramai mereka mendirikan tiang-tiang calon masjid, kadang diselingi pula oleh bunyi palu dan gergaji memotong kayu. 
Ternyata suara ramai mereka membangunkan penduduk pedukuhan itu. Karena bulan bersinar terang, penduduk mengira sudah pagi. Perawan desa bergegas mengambil padi dari lumbung, untuk ditumbuk menjadi beras. Sebentar kemudian terdengar ramai, suara antan beradu dengan lesung. 
Bunyi orang menumbuk padi itu, telah membangunkan ayam milik penduduk pedukuhan. Binatang itu berlari ke tempat orang yang sedang menumbuk padi, untuk mencari ceceran gabah di sekitarnya. Semakin ramailah ditempat itu oleh adanya suara ayam mengais gabah, yang kadang diselingi suara kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Terkejutlah para santri mendengar suara kokok ayam, dan mereka mengira hari sudah pagi. Lemaslah tubuh mereka semua, karena upaya mendirikan masjid dalam semalam telah gagal. Sambil menggerutu mereka membongkar masjid yang hampir jadi, dan diusung ke pinggir sungai untuk diikat menjadi rakit.
Ketika para santri sedang membongkar bangunan masjid, ternyata bulan masih bersinar tinggi di atas. Barulah mereka semua sadar, bahwa saat itu masih tengah malam. Mereka mencari arah datangnya suara kokok ayam, yang ternyata dari tempat para perawan yang menumbuk padi. Karena badan lelah kurang tidur, ada seorang santri mengeluarkan umpatan kepada para perawan desa itu. Konon dalam umpatannya mengatakan, sampai besok di dukuh itu akan selalu ada perawan tidak laku kawin. Menurut cerita masyarakat desa Ngroto sekarang, umpatan itu ternyata menjadi kenyataan. Konon sejak dulu hingga sekarang, di desa Ngroto selalu ada perawan desa tidak laku kawin. Apakah hal itu disebabkan umpatan santri zaman dulu, wa llahu a’lam bish shawab.


Bekas tempat akan didirikannya masjid tersebut, oleh penduduk pedukuhan diberinya nama ”Batur Sigit ”, (batur artinya tanah yang tinggi, sedangkan sigit artinya masjid). Karena tanah itu sampai sekarang terkenal wingit, sehingga masyarakat desa Ngroto tidak ada yang berani menggunakannya sebagai ladang atau tempat tinggal.


Sugihmanik 1

Terjadinya Desa Sugihmanik
Setelah semua rakit dihanyutkan melalui sungai Tuntang, sebagian dari rombongan mengikuti perjalanan Sunan Kalijaga mencari kayu yang cocok dibuat genting sirap. Pada suatu hari perjalanan rombongan sampai di suatu pedukuhan pinggir hutan, yang konon bernama dukuh “Matamu”. Berhentilah rombongan di pedukuhan itu, untuk beristirahat dan melaksanakan sholat. Ketika semua santri sedang beristirahat, Sunan Kalijaga pergi memeriksa hutan di sekitarnya. Ternyata di sebelah selatan dukuh Matamu, terdapat kawasan hutan jati yang pohonnya lurus-lurus dan berusia tua. Beliau kemudian memerintahkan para santri, untuk menebangan pohon-pohon jati itu. Beberapa hari kemudian, tampak beribu-ribu genting sirap berjajar rapi di pinggir hutan. Sangat puas hati Sunan Kalijaga melihat genting-genting sirap, sehingga beliau berkenan memberi nama hutan itu ”Hutan Jati Sirap”.

Pada suatu hari, Sunan Kalijaga berkenan untuk dibuatkan surau. Siang dan malam surau tersebut dikerjakan para santri, sehingga tidak lama kemudian surau itu jadi. Beliau juga berkenan, untuk dibuatkan kentongan dan bedug. Pergilah beberapa orang santri mencari kayu, yang akan dibuat kentongan dan bedug. Konon kayu yang diperoleh terlalu panjang, hingga beliau memerintahkan memotongnya menjadi dua. Bagian ujung dibuat bedug, dan dipasang di surau pedukuhan Matamu. Sedangkan bagian pangkalnya juga dibuat bedug, yang dipersiapkan dipasang di masjid Demak. Setelah surau yang lengkap dengan bedug dan kentongan selesai dibuat, beliau masih punya keinginan dibuatkan sebuah balai. Balai itu akan digunakan sebagai tempat mengajar para santri, serta akan digunakan sebagai tempat bermusyawarah. Bentuk balai yang dibuat sangat megah, karena didirikan di atas tanah agak tinggi. Dinding dan lantainya terbuat dari lembaran kayu jati tebal, serta atapnya dibuat dari genting sirap. Karena balai itu bentuknya memanjang, para santri memberi nama “Balai Panjang”.

Konon pada suatu hari datang musim kemarau panjang, sehingga mata air dan sumur penduduk kering. Sunan Kalijaga sangat prihatin melihat hal itu, maka beliau kemudian duduk diatas batu besar dekat balai Panjang. Beliau memanjatkan doa, dan memohon ampun kepada Allah SWT agar pedukuhan terhindar dari bahaya kekeringan. Konon setelah selesai berdoa, tiba-tiba dari bawah batu terdengar suara ikan berenang. Mendengar suara itu, diutuslah beberapa orang santri menggulingkan batu besar yang didudukinya. Ternyata di bawah batu terdapat sendang, yang sangat jernih airnya. Di dalam sendang ada beberapa ekor ikan palung, yang sedang berenang di permukaan air. Air dalam sendang memancar keluar, disertai riak-riak yang berkilauan seperti manik-manik. Melihat riak air yang keluar dari sendang seperti butiran manik, Sunan Kalijaga berkenan mengganti nama pedukuhan Matamu menjadi pedukuhan “Sugihmanik”. Karena sendang itu berjasa menolong mereka, Sunan Kalijaga berkenan memberi nama sendang “Sentono Dalem”.

Syahdan ketika sendang Sentono Dalem memancarkan air sangat deras, di sebelah timur sendang juga muncul sendang baru. Karena air yang keluar dari sendang sangat deras, sehingga para santri mengatakan airnya mudal-mudal keluar. Dari kata mudal-mudal itu, Sunan Kalijaga memberi nama sendang “Mudal”.
Kembali pada cerita, karena ada suara ikan palung sehingga dapat ditemukan sendang. Sunan Kalijaga kemudian berpesan, pada penduduk Sugihmanik, agar sampai besok tidak makan ikan palung. Karena itu sampai sekarang ini, penduduk desa Sugihmanik pantang memakan ikan palung. Mereka takut mendapat petaka, bila melanggar pesan Sunan Kalijaga dulu. Benar atau tidak tentang hal itu, wa llahu a’lam bish shawab.
Setelah kebutuhan genting sirap tercukupi, para santri memikulnya untuk dibawa ke Demak. Namun sampai di tengah perjalanan, barulah ingat bahwa bende pemberi aba-aba tertinggal. Karena takut dimarahi gurunya, ada seorang santri berniat mengambil. Tetapi dicegah Sunan Kalijaga dengan berkata : ”Wis ben bende kuwi keri ono dukuh Sugihmanik, mergo mbesuk dukuh kuwi bakal dadi desa sing rame” (Biarkanlah bende itu tertinggal di pedukuhan Sugihmanik, karena besok pedukuhan itu akan jadi desa yang ramai). Ternyata benar ucapan Sinan kalijaga itu, karena desa tersebut akhirnya menjadi ramai dan padat penduduknya.

Bende peninggalan rombongan Sunan Kalijaga sampai sekarang masih ada, disimpan oleh penduduk Sugihmanik. Akan tetapi bende tersebut sekarang sudah lapuk dan pecah, sehingga pada pelaksanaan apitan digunakanlah bende duplikatnya. Balai Panjang masih juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara apitan, yang diselenggarakan oleh masyarakat setiap tahun sekali. Bedug yang dibuat para santri dulu juga masih ada. Menurut cerita masyarakat, letak bedug itu harus sejajar dengan letak bedug masjid Demak. Konon bila tidak sejajar, kulit bedug akan mudah robek. Adapun sebabnya kayu bedug itu dulu, satu pohon dengan bedug yang dipasang di masjid Demak. Benar atau tidaknya hal itu, wa llahu a’lam bish shawab. Kentongan gantung sekarang ada di rumah bapak Istanto, mantan pejabat Kepala Desa Sugihmanik. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bila menyimpan kentongan di rumahnya maka akan dapat menjadi Kepala Desa. Kepercayaan itu telah dibuktikan ayah Istanto, waktu beliau mencalonkan diri menjadi Kepala Desa Sugihmanik. Hingga bertahun-tahun beliau menjabat sebagai Kepala Desa, karena menyimpan kentongan itu. Hal itu juga turun pada putranya Istanto, yang dapat terpilih menjadi Kepala Desa Sugihmanik hingga dua periode.

Sugihmanik 2

Apitan di Sugihmanik

Bende peninggalan Sunan Kalijaga zaman dulu, sekarang ini sudah lapuk dan pecah dimakan usia. Setiap ada kegiatan Apitan, bende itu selalu diarak ke Balai Panjang. Tetapi setelah bende tidak bisa digunakan lagi, dibuatkannya bende diplikat. Walau pada pelaksanaan upacara Apitan bende tersebut masih dibawa, tetapi yang dipukul adalah bende duplikat. Sebelum pelaksanaan upacara ritual Apitan di Balai Panjang, dilakukan dulu pengurasan sendang Sentono Dalem. Pengurasan sendang tidak boleh dilakukan sembarangan, tetapi perlu dipersiapkan sesajen. Sebelum pengurasan, dituangkan air tape ke dalam sendang. Sebagai tujuannya untuk menutup sumber air, yang ada di tengah sendang. Setelah pengurasan dan pembersihan sendang selesai, dituangkan lagi air tape ke dalam sendang. Tujuan penuangan air tape tersebut, agar air sendang cepat penuh kembali. Konon dulu pengurasan sendang Sentono Dalem, hanya boleh dilakukan penduduk asli desa Sugihmanik. Itupun juga hanya bagi orang-orang, yang mempunyai anak 5 laki-laki semua (keluarga Pandawa lima). Tetapi sekarang yang diperbolehkan ikut menguras, hanya yang mempunyai anak jumlah ganjil.


Batu besar yang dulu digunakan alas duduk Sunan Kalijaga pada waktu berdoa meminta air, sekarang diletakkan di sebelah barat sendang Sentono Dalem. Batu itu masih dikeramatkan penduduk setempat, yang konon dapat mendatangkan celaka terhadap siapa berani berbuat kurang sopan di dekatnya.  Menurut cerita pernah ada seseorang dari luar daerah, datang mengunjungi sendang Sentono Dalem. Dengan sengaja berdiri di atas batu itu, dengan berkata yang menyepelekan kekeramatannya. Penduduk sekitar telah memperingatkan, agar orang tersebut turun dari batu. Tetapi peringatan tidak dihiraukan, bahkan mencemooh kepercayaan penduduk terhadap batu itu. Tidak lama kemudian orang tersebut jatuh, dan ketika akan ditolong ternyata sudah meninggal dunia.

Selasa, 15 Desember 2009

Kyai Santri 1

Asal Mula Desa Tanggung
Kembali pada rombongan para santri, yang melakukan perjalanan pulang ke Demak. Baru saja keluar dari dukuh Sugihmanik, telah terhalang sungai yang mengalir deras. Terpaksa rombongan harus menyeberang sungai, sambil membawa beban sirap yang berat. Ketika rombongan berhasil menyeberang, ternyata ada seorang santri yang sakit dan akhirnya meninggal dunia. Rombongan terpaksa berhenti, untuk merawat jenazah temannya. Pada waktu itu terjadi perdebatan oleh para santri, untuk memakamkan jenazah temannya. Ada yang menginginkan dimakamkan di pinggir sungai, ada yang menghendaki dimakamkan di dukuh Sugihmanik. Tetapi kebanyakan menghendaki, agar jenazah dibawa ke Demak untuk dimakamkan disana.  
Memang yang paling baik adalah memakamkan jenazah itu di dukuh Sugihmanik, tetapi mereka merasa tanggung bila harus kembali ke dukuh itu. Konon setelah daerah tempat santri yang meninggal dunia menjadi dukuh, oleh masyarakat diberi nama Tanggung. Nama itu diambil dari kata mertanggung (bahasa Jawa), yang akhirnya menjadi Tanggung. Dukuh Tanggung berkembang menjadi desa, dan akhirnya menjadi ibu kota kecamatan Tanggungharjo yang membawahi desa Tanggungharjo, Brabo, Padang, Sugihmanik, Ringinpitu, Kaliwenang, Mrisi, Kapung dan yang terakhir adalah Ngambakrejo. Sedang sungai yang dulu pernah diseberangi para santri, sekarang menjadi tapal batas desa Sugihmanik dengan Tanggungharjo. Karena dulu ketika di tempat itu para santri merasa sudah berada di tengah perjalanan, maka sungai tersebut kemudian diberi nama Kali Tengah.
Syahdan perjalanan ke Demak diteruskan lagi, dengan membawa jenazah temannya yang meninggal dunia. Konon menurut cerita ketika iring-iringan sampai di suatu tempat, santri yang membawa jenazah minta untuk digantikan. Tetapi tidak ada seorangpun santri yang bersedia menggantikan, karena sudah merasa berat membawa bebannya sendiri. Jenazah santri itu kemudian diletakkan di pinggir jalan, dan tidak ada seorangpun mau mengangkat. Semua menjadi bingung, karena tidak bisa memecahkan masalah itu. Konon tempat itu akhirnya menjadi pedukuhan, yang oleh penduduk setempat diberi nama ”pedukuhan Bebelan”. Nama tersebut diambil dari kata bebel (Jawa), karena dulu para santri merasa kebingungan dan tidak bisa memecahkan permasalahan. 
Sunan Kalijaga kemudian mengambil keputusan. Beliau memberi  perintah para santri, untuk memakamkan jenazah temannya di daerah itu. Beliau minta agar jenasah dimakamkan di suatu tempat, yang dapat dilihat oleh orang yang lewat.  Hal tersebut memang perlu dilakukan, dengan tujuan agar besok ada orang yang mau merawat makam santri itu.
Pada suatu hari datang seorang penggembala kerbau ke tempat santri itu dimakamkan. Karena tahu makam santri Sunan Kalijaga, dengan suka rela dirawatnya makam tersebut. Karena tidak tahu nama santri yang meninggal dunia, maka oleh penggembala kerbau diberinya nama ”Makam Santri”. 
Konon setelah penggembala kerbau tersebut merawat makam santri itu, kehidupannya mengalami perubahan yang sangat pesat. Kerbau yang digembalakan menjadi bertambah banyak, dan kehidupan rumah tangganya menjadi kecukupan. Ternyata apa yang dilakukan penggembala kerbau itu ditiru penduduk, yang bertempat tinggal di sekitar makam santri. Mereka datang dan ikut merawat makam santri itu, yang dilanjutkan dengan berdoa untuk memohon kepada Allah SWT agar diberi keselamatan serta kehidupan yang cukup.
Konon setelah datang beberapa kali dan berdoa di makam santri,  rezekinya menjadi semakin bertambah. Kabar kejadian itu akhirnya berkembang ke daerah lain, sehingga semakin banyak orang percaya dan datang berkunjung serta berdoa di makam santri. Hingga sekarang masih banyak orang luar daerah, datang mengunjungi makam santri itu.
Menurut keterangan juru kunci makam santri, bahwa hari baik untuk melaksanakan niat di tempat itu pada malam Jum’at Wage. Adapun mengapa hari itu dikatakan sebagai hari baik untuk melaksanakan niat ?. Sayang juru kunci tidak dapat menjelaskan, karena dia hanya mendapat pesan dari pendahulunya. Adapun letak Makam Santri atau Makam Mbah Santri sekarang ini, berada di pedukuhan Tlogotanjung desa Tlogorejo, Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan.