Minggu, 13 Desember 2009

Kuwaron & Jatipecaron 3

Terjadinya Desa Jatipecaron

Melihat percekcokan yang sering terjadi di pedukuhan Kuwaron, menyebabkan Mbah Lebai tidak betah tinggal di pedukuhan itu. Pada suatu hari beliau mengutarakan maksudnya kepada Mbah Dermo, bahwa akan pergi mencari tempat tinggal baru. Tentu saja Mbah Dermo keberatan, karena Mbah Lebai sudah dianggap seperti adik sendiri. Dibujuknya juga para pengikutnya, untuk tidak meninggalkan pedukuhan Kuwaron. Tetapi niat Mbah Lebai sudah bulat. Dengan  disertai sanak famili dan pengikutnya,  beliau pergi meninggalkan pedukuhan Kuwaron. Rombongan berjalan ke utara, untuk mencari tempat yang cocok untuk tempat tinggal. Namun ketika rombongan sampai di pinggir sungai Tuntang, ternyata sungai sedang banjir besar Rombongan tidak berani menyeberang, dan berhenti di pinggir sungai menunggu banjir surut. Seharian rombongan di pinggir sungai, tetapi banjir tidak juga surut. Kemudian mereka mencari tempat agak tinggi, untuk mendirikan gubug tempat beristirahat. Walau berhari-hari menunggu banjir surut, tetapi tidak juga kunjung tiba. Mbah Lebai kemudian mengambil keputusan, untuk mendirikan pedukuhan baru di pinggir sungai.
Konon setelah Mbah Lebai dan rombongan pergi, hati Mbah Dermo sangat sedih sekali. Apalagi melihat warganya sulit diatur, menyebabkan Mbah Dermo menjadi putus asa.  Pada suatu hari beliau mempunyai niat, akan menyusul Mbah Lebai di pedukuhan baru. Dengan diiringi sanak keluarga, pergilah Mbah Dermo meninggalkan pedukuhan Kuwaron. Setelah tiba di pedukuhan baru, diutarakan maksud kedatangannya itu. Dikatakan pula bahwa dirinya tidak mampu menjadi pemimpin pedukuhan Kuwaron, karena penduduknya sulit diatur. Tentu saja Mbah Lebai terkejut mendengar permintaan Mbah Dermo, karena pedukuhan yang dulu pernah dipimpinnya berdua harus ditinggalkan. Beliau juga prihatin terhadap pedukuhan Kuwaron, karena tidak ada pemimpinnya. Dengan halus beliau menolak permintaan itu dengan ucapan : ”Balio maneh menyang dukuh Kuwaron, podo wae wong dukuh iki sejatine uga pecahane dukuh Kuwaron”. (Kembalilah ke pedukuhan Kuwaron, sama saja desa ini sebenarnya adalah pecahan pedukuhan Kuwaron).
Tetapi Mbah Dermo sudah bertekad, tidak akan kembali ke dukuh Kuwaron. Beliau akan mencari tempat baru, bila tidak diizinkan tinggal di pedukuhan itu. Karena merasa kasihan, beliau berkata : ”Yo wis yen pancen koyo ngono karepmu, kowe manggono ono sisih kidul dene aku tak manggon ana sisih lor” (Ya sudah kalau memang seperti itu kehendakmu, kamu tinggal di sebelah selatan sedang saya tinggal di sebelah utara).
Akhirnya Mbah Dermo dan sanak keluarga menetap di pedukuhan itu, dan tinggal di sebelah selatan atau tepatnya di dekat sungai Tuntang. Sedangkan Mbah Lebai tetap di tempat semula, di daerah yang terletak di sebelah Utara. Setelah Mbah Lebai berkata bahwa pedukuhan baru itu sebenarnya pecahan Kuwaron, maka pedukuhan itu kemudian diberi nama Jatipecaron. Konon nama itu sebenarnya kependekan dari kata ”Sejatine Pecahane Kuwaron”.

Hingga akhir hayatnya kedua tokoh itu tinggal di pedukuhan Jatipecaron. Setelah keduanya wafat, jenazah Mbah Lebai dimakamkan di pekuburan Kauman sedangkan Mbah Dermo dimakamkan di pekuburan dekat tanggul sungai Tuntang.
Makam Mbah Dermo sering kebanjiran, sehingga kayu nisannya lapuk dan hilang terbawa banjir. Karena dikenal sebagai makam wingit, tidak ada yang berani mengganti kayu nisan beliau. Tetapi karena makam beliau berada di bawah pohon preh, dengan hilangnya kayu nisan maka pohon preh itu dianggap pengganti nisan beliau.

Untuk menghormati Mbah Dermo sebagai tokoh yang berjasa mendirikan dan memimpin dukuh Kuwaron dulu, pada setiap bulan Apit perangkat desa Kuwaron datang berziarah ke makam beliau di dukuh Polaman desa Jatipecaron. Di tempat itu mereka mengadakan selamatan, minta kepada Allah SWT agar desa Kuwaron dan penduduknya diberi keselamatan.
Membahas tentang Mbah Lebai, yang dimakamkan di desa Jatipecaron. Bila menyebut nama Lebai, akan muncul pertanyaan tentang siapakah nama asli beliau. Hingga sekarang tidak ada seorangpun yang tahu, tentang siapa nama asli beliau. Tetapi bila kita pelajari, bahwa lebai adalah merupakan nama jabatan perangkat desa Modin atau Kaur Kesra. Bahkan sampai sekarang masyarakat masih terbiasa menyebut nama seorang perangkat desa, dengan panggilan jabatannya (misalkan pak Lurah, pak Modin, pak Carik). Hal seperti itu yang menyebabkan nama aslinya pudar, dan berubah menjadi nama jabatannya. Demikian juga beliau, yang kemungkinan juga perangkat desa dengan jabatan lebai (Modin/Kaur Kesra). Karena warga sering memanggil beliau dengan jabatannya, sehingga nama asli beliau pudar dan ganti dengan nama ”Mbah Lebai”.  
Di desa Jatipecaron terdapat sebuah makam kuno, yang dipercaya penduduk setempat sebagai makam Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal Bakal. Menurut cerita bahwa beliau merupakan cikal bakal,  atau pendiri dukuh Jatipecaron jaman dulu. Benarkah pendiri desa Jatipecaron adalah Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal Bakal ?.

Pertanyaan itu memang sulit dibuktikan, karena penduduk sudah terlanjur percaya bahwa pendiri desa Jatipecaron adalah Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal Bakal. Tetapi bila kita perhatikan nama Jatipecaron, yang konon merupakan singkatan dari ”sejatine pecahane Kuwaron”. Tentu saja dapat kita duga, bahwa pendiri dukuh itu adalah Mbah Lebai. Dengan melihat makam Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal Bakal terletak di dukuh Kaloran, tidak menutup kemungkinan tempat itu dulu merupakan petilasan Mbah Lebai. Hal itu diperkuat adanya pesan yang pernah disampaikan Mbah Lebai kepada Mbah Dermo, bahwa beliau akan bertempat tinggal di pedukuhan sebelah Utara (Jawa = Lor) dan Mbah Dermo disuruh bertempat tinggal di sebelah Selatan (jawa = kidul). Kemungkinan besar dari perkataan di sebelah Lor, akhirnya sekarang pedukuhan dekat makam Mbah Sutoboyo atau Mbah Cikal Bakal menjadi dukuh Kaloran. Mana yang benar tentang pendapat tersebut, wa llahu a’lam bish shawab.

0 komentar: