Sabtu, 19 Desember 2009

Orang Cina Datang Ke Gubug

Dijelaskan dalam buku “Sejarah Hari Jadi Kabupaten Grobogan” karangan Tim Peneliti UNS Surakarta (1991), bahwa Belanda lebih suka memilih orang Cina sebagai partner kerja. Waktu itu orang Cina dipercaya, memungut pajak dari warga pribumi. Selain itu juga diberi kebebasan, menjadi tengkulak atau pengijon di tingkat Distrik (Kawedanan). Melihat hasil bumi desa Gubug yang berlimpah, ada beberapa taoke dari Semarang datang membeli. Sejak itu setiap pagi ada iring-iringan gerobag ditarik lembu, datang dari Semarang menuju desa Gubug. Sore hari iring-iringan gerobag kembali ke Semarang, membawa muatan hasil bumi.
Ternyata mereka juga menjadi reintenir, dengan bunga tinggi. Akibatnya para petani tidak dapat mengembalikan hutang, terpaksa menjual hasil panen kepada taoke dengan harga murah. Ada juga yang yang tidak bisa membayar hutang, terpaksa menjual tanaman padinya dengan sistem ijon. Karena desa Gubug dipandang aman, ada orang Cina membeli sebidang tanah di Gubug. Mereka memilih tanah pinggir jalan, menuju pasar Gubug. Hal tersebut penting, karena mempermudah pembelian polowijo dari penduduk pribumi. Maka setiap pagi hari, di depan rumah terlihat timbangan dacin tergantung pada tiang bambu berkaki tiga. Terdengar suara keras mereka, saat menawar padi atau polowijo yang akan dibelinya. Pekerjaan yang mereka lakukan itu, oleh orang Cina dinamakan batiak.
Melihat hasil panen padi di desa Gubug yang berlimpah, ada 3 orang Cina kaya membuka usaha penggilingan padi. Karena itu di desa Gubug waktu dulu, ada 3 pabrik penggilingan padi besar. Pabrik padi tersebut adalah pabrik kidul (selatan) karena letaknya di sebelah selatan, pabrik tengah karena letaknya di tengah dan pabrik lor (utara) karena letaknya di utara. Beras hasil penggilingan dikirim ke Semarang, atau ke kota besar di tanah Jawa. Untuk menampung hasil pembelian padi dari petani yang berlimpah, tiap pabrik padi memiliki halaman yang luas sebagai tempat jemuran dan menumpuk padi yang akan digiling. Karena itu terlihat masing-masing pabrik penggilingan padi, akan memiliki banyak tumpukan padi yang tinggi.
Pada suatu ketika orang Cina desa Gubug ingin mendirikan klenteng. Dengan cara iuran mereka mengumpulkan dana, untuk dibelikan bahan bangunan yang dibutuhkan. Didatangkan tukang kayu dan tukang batu dari Semarang dan Jepara. Sebagai perancang bangunan, ditunjuk seorang Cina dari Semarang. Untuk mengerjakan bangunan klenteng membutuhkan waktu lama, karena membutuhkan ketelitian guna menunjukkan adanya unsur seni Cina. Berdasarkan pahatan tulisan pada bagian atap, diketahui dibuat tahun 1868 M. Bentuk tulisannya berhuruf Wei Yhang (suatu sandi berhuruf Cina), bila diterjemahkan akan menunjukkan angka tahun tersebut. Di dalam klenteng dibuatkan altar besar, yang dipenuhi ornament berbentuk bunga. Altar tersebut diletakkan pada bagian utama, di atasnya diletakkan kimsin (patung dewa) serta tempat menancapkan batang hio soa.

Suasana klenteng akan ramai, bila warga Cina merayakan tahun baru Imlek. Dengan iuran mereka mendatangkan pertunjukan wayang Poo The Kie (wayang golek asli Cina) dari Semarang. Pertunjukan itu menceritakan lakon babat asli, yang ada di negara Cina. Cerita yang dimainkan kebanyakan tentang kerajaan atau pahlawan, yang pernah ada di negara Cina zaman dulu. Pertunjukan berlangsung berhari-hari, bahkan kadang juga berlangsung hampir satu bulan. Kebahagiaan orang Cina waktu itu, ternyata dinikmati juga oleh penduduk pribumi. Mereka dapat ikut melihat pertunjukan wayang poo The Hie, yang diselenggarakan oleh orang Cina. Sejak sore mereka berkumpul di halaman klenteng, menunggu pertunjukan wayang potehi dimulai. Di sekitar klenteng juga ada orang pribumi, yang berjualan makanan kecil. Mereka menjajakan makanan ringan khas pedesaan, berupa kacang rebus, kentang hitam rebus, ketela rebus. Setelah pertunjukan wayang potehi dimulai, semua penonton duduk di depan panggung sambil menikmati makanan kecil yang dibelinya. Dalam hal ini penduduk pribumi hanya menonton gerak-gerik wayang, karena dalang menggunakan dialog bahasa Cina yang tidak diketahuinya. Tetapi mereka akan ikut bersorak, bila tokoh yang dikaguminya menang perang. Berdasarkan penjelasan Sagiyo Waluyo dalam majalah Panyebar Semangat bulan Januari 2009, bahwa wayang Poo The Hie berasal dari desa Hokkian di negara Cina. Pertunjukan itu diiringi musik, yang dimainkan lima orang. Jenis musik tersebut berupa dongke (tambur Cina), sian bak (toala siaw-trompet), erhu (rebab), ya na (melodi kecil), dan siau sen (suling). Cerita yang sering dimainkan, antara lain Sie Djin koei, Sun Go Kong, Kwe Tju Gie, Sun Pin, Tek Dje Heng, Sie Kong. Adapun crita yang dianggap kramat untuk dimainkan adalah Sam Kok (tiga Negara), dan Hong Sin (penganugerahan para malaikat). Biasanya dalang wayang Poo The Hie akan berpuasa lebih dahulu, bila akan memainkan cerita yang dianggap keramat. Dalang juga tidak boleh salah dalam memainkan wayang, karena dapat mendatangkan petaka bagi penontonnya. Rupa-rupanya ada keinginan warga Cina, untuk memiliki alat permainan liong. Permainan itu asli negara RRC, yang sudah dimiliki klenteng-klenteng besar di Jawa. Bentuk alat permainan berupa naga tiruan, mempunyai panjang sekitar 12 m. Memainkan liong dibutuhkan 9 orang, yang mengupayakan agar liong melenggak-lenggok seperti ular berjalan. Untuk musik pengiring, dibutuhkan 4 orang penabuh bedug, kencreng dan gembreng. Setelah memiliki alat permainan liong, setiap sore pemuda-pemuda Cina berlatih bermain di halaman klenteng. Ramai bunyi musik pengiring, yang mengundang penduduk sekitar datang menonton. Konon orang Cina juga mempunyai gagasan, memiliki tanah makam khusus warga Cina. Tempat yang diinginkan adalah di pegunungan, yang jauh dari pusat keramaian. Hal itu disesuaikan dengan budaya asli leluhur mereka, yang memakamkan jenazah di pegunungan. Menurut kepercayaan bahwa dengan memakamkan jenazah di tempat yang tinggi, arwahnya akan selalu dekat dengan para dewa. Atas bantuan pemerintah Belanda, mereka berhasil memiliki sebidang tanah di desa Kuwaron. Walaupun tidak di atas bukit, tetapi tanah itu agak tinggi dibandingkan tanah di sekitarnya. Karena jumlah warga Cina masih sedikit, hanya beberapa jenasah saja yang telah dimakamkan di situ. Tetapi dengan berkembangnya penduduk, makam cina di desa Kuwaron dianggap tidak memadai lagi. Atas bantuan pemerintah Belanda, mereka berhasil mendapat tanah lebih luas di daerah pegunungan. Letaknya di desa Kapung, kurang lebih 6 kilo meter di sebelah selatan desa Gubug. Sejak itu makam Cina di desa Kuwaron tidak digunakan lagi, dan dialihkan ke tempat pemakaman baru di Kapung sampai sekarang. Sayang tidak ada catatan yang menjelaskan, sejak kapan makam itu mulai dipakai. Makam cina di desa Kuwaron yang tidak digunakan, sekitar tahun 1965 diambil alih pemerintah Kabupaten Grobogan untuk mendirikan Sekolah Tehnik Negeri. Beberapa buah makam warga Cina digali, untuk dipindahkan ke pemakaman Cina di desa Kapung. Waktu diadakan penggalian makam, banyak peti mati (terbelo) yang masih utuh. Di dalam terbelo ditemukan perhiasan emas berupa gelang dan kalung, yang terletak di samping kerangka jenazah. Menurut cerita warga Cina sendiri, bahwa keluarga sengaja memasukkan benda yang disayangi oleh orang yang meninggal dunia, Adapun tujuannya agar arwah orang yang meninggal dunia tidak penasaran, karena selalu ingat benda-benda kesayangannya yang tertinggal di alam dunia. Ada juga yang memasukkan beberapa uang logam, dan katanya sebagai bekal perjalanan orang yang meninggal dunia. Hal itu sampai sekarang masih dilakukan, oleh mereka yang masih percaya adat leluhurnya.

0 komentar: