Sabtu, 19 Desember 2009

Sugihmanik 1

Terjadinya Desa Sugihmanik
Setelah semua rakit dihanyutkan melalui sungai Tuntang, sebagian dari rombongan mengikuti perjalanan Sunan Kalijaga mencari kayu yang cocok dibuat genting sirap. Pada suatu hari perjalanan rombongan sampai di suatu pedukuhan pinggir hutan, yang konon bernama dukuh “Matamu”. Berhentilah rombongan di pedukuhan itu, untuk beristirahat dan melaksanakan sholat. Ketika semua santri sedang beristirahat, Sunan Kalijaga pergi memeriksa hutan di sekitarnya. Ternyata di sebelah selatan dukuh Matamu, terdapat kawasan hutan jati yang pohonnya lurus-lurus dan berusia tua. Beliau kemudian memerintahkan para santri, untuk menebangan pohon-pohon jati itu. Beberapa hari kemudian, tampak beribu-ribu genting sirap berjajar rapi di pinggir hutan. Sangat puas hati Sunan Kalijaga melihat genting-genting sirap, sehingga beliau berkenan memberi nama hutan itu ”Hutan Jati Sirap”.

Pada suatu hari, Sunan Kalijaga berkenan untuk dibuatkan surau. Siang dan malam surau tersebut dikerjakan para santri, sehingga tidak lama kemudian surau itu jadi. Beliau juga berkenan, untuk dibuatkan kentongan dan bedug. Pergilah beberapa orang santri mencari kayu, yang akan dibuat kentongan dan bedug. Konon kayu yang diperoleh terlalu panjang, hingga beliau memerintahkan memotongnya menjadi dua. Bagian ujung dibuat bedug, dan dipasang di surau pedukuhan Matamu. Sedangkan bagian pangkalnya juga dibuat bedug, yang dipersiapkan dipasang di masjid Demak. Setelah surau yang lengkap dengan bedug dan kentongan selesai dibuat, beliau masih punya keinginan dibuatkan sebuah balai. Balai itu akan digunakan sebagai tempat mengajar para santri, serta akan digunakan sebagai tempat bermusyawarah. Bentuk balai yang dibuat sangat megah, karena didirikan di atas tanah agak tinggi. Dinding dan lantainya terbuat dari lembaran kayu jati tebal, serta atapnya dibuat dari genting sirap. Karena balai itu bentuknya memanjang, para santri memberi nama “Balai Panjang”.

Konon pada suatu hari datang musim kemarau panjang, sehingga mata air dan sumur penduduk kering. Sunan Kalijaga sangat prihatin melihat hal itu, maka beliau kemudian duduk diatas batu besar dekat balai Panjang. Beliau memanjatkan doa, dan memohon ampun kepada Allah SWT agar pedukuhan terhindar dari bahaya kekeringan. Konon setelah selesai berdoa, tiba-tiba dari bawah batu terdengar suara ikan berenang. Mendengar suara itu, diutuslah beberapa orang santri menggulingkan batu besar yang didudukinya. Ternyata di bawah batu terdapat sendang, yang sangat jernih airnya. Di dalam sendang ada beberapa ekor ikan palung, yang sedang berenang di permukaan air. Air dalam sendang memancar keluar, disertai riak-riak yang berkilauan seperti manik-manik. Melihat riak air yang keluar dari sendang seperti butiran manik, Sunan Kalijaga berkenan mengganti nama pedukuhan Matamu menjadi pedukuhan “Sugihmanik”. Karena sendang itu berjasa menolong mereka, Sunan Kalijaga berkenan memberi nama sendang “Sentono Dalem”.

Syahdan ketika sendang Sentono Dalem memancarkan air sangat deras, di sebelah timur sendang juga muncul sendang baru. Karena air yang keluar dari sendang sangat deras, sehingga para santri mengatakan airnya mudal-mudal keluar. Dari kata mudal-mudal itu, Sunan Kalijaga memberi nama sendang “Mudal”.
Kembali pada cerita, karena ada suara ikan palung sehingga dapat ditemukan sendang. Sunan Kalijaga kemudian berpesan, pada penduduk Sugihmanik, agar sampai besok tidak makan ikan palung. Karena itu sampai sekarang ini, penduduk desa Sugihmanik pantang memakan ikan palung. Mereka takut mendapat petaka, bila melanggar pesan Sunan Kalijaga dulu. Benar atau tidak tentang hal itu, wa llahu a’lam bish shawab.
Setelah kebutuhan genting sirap tercukupi, para santri memikulnya untuk dibawa ke Demak. Namun sampai di tengah perjalanan, barulah ingat bahwa bende pemberi aba-aba tertinggal. Karena takut dimarahi gurunya, ada seorang santri berniat mengambil. Tetapi dicegah Sunan Kalijaga dengan berkata : ”Wis ben bende kuwi keri ono dukuh Sugihmanik, mergo mbesuk dukuh kuwi bakal dadi desa sing rame” (Biarkanlah bende itu tertinggal di pedukuhan Sugihmanik, karena besok pedukuhan itu akan jadi desa yang ramai). Ternyata benar ucapan Sinan kalijaga itu, karena desa tersebut akhirnya menjadi ramai dan padat penduduknya.

Bende peninggalan rombongan Sunan Kalijaga sampai sekarang masih ada, disimpan oleh penduduk Sugihmanik. Akan tetapi bende tersebut sekarang sudah lapuk dan pecah, sehingga pada pelaksanaan apitan digunakanlah bende duplikatnya. Balai Panjang masih juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara apitan, yang diselenggarakan oleh masyarakat setiap tahun sekali. Bedug yang dibuat para santri dulu juga masih ada. Menurut cerita masyarakat, letak bedug itu harus sejajar dengan letak bedug masjid Demak. Konon bila tidak sejajar, kulit bedug akan mudah robek. Adapun sebabnya kayu bedug itu dulu, satu pohon dengan bedug yang dipasang di masjid Demak. Benar atau tidaknya hal itu, wa llahu a’lam bish shawab. Kentongan gantung sekarang ada di rumah bapak Istanto, mantan pejabat Kepala Desa Sugihmanik. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bila menyimpan kentongan di rumahnya maka akan dapat menjadi Kepala Desa. Kepercayaan itu telah dibuktikan ayah Istanto, waktu beliau mencalonkan diri menjadi Kepala Desa Sugihmanik. Hingga bertahun-tahun beliau menjabat sebagai Kepala Desa, karena menyimpan kentongan itu. Hal itu juga turun pada putranya Istanto, yang dapat terpilih menjadi Kepala Desa Sugihmanik hingga dua periode.

0 komentar: