Minggu, 13 Desember 2009

Kuwaron & Jatipecaron 1


Sekilas Kerja Paksa Rodi
Jalan raya Daendels dibangun atau tepatnya dilebarkan atas prakarsa Herman Willem Daendeles, yang pada waktu itu menjabat sebagai Gubernur di wilayah Hindia Belanda. Beliau memerintah di Hindia Belanda tahun 1808 – 1818, yang merupakan tunjukan raja Belanda Louis Napoleon. Louis Napoleon sendiri adalah adik Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte,  ketika  Perancis menjajah Belanda. Tugas utama Herman Willem Daendeles mempertahankan wilayah Hindia Belanda, dari kemungkinan diserang Negara Inggris yang juga menginginkan wilayah Hindia Belanda.
Semua masyarakat sekarang ini tahu akan kekejaman yang dilakukan Herman Willem Daendeles, walau hanya melalui cerita atau buku yang ada. Adapun bentuk kekejaman yang dilakukan terhadap bangsa kita, antara lain dalam pembuatan jalan Daendels dan kerja paksa. Seperti tertulis dalam buku ”Jalan Raya Pos, Jalan Daendeles” karya Pramoedya Ananta Toer, yang merupakan pengalaman pribadi peristiwa genosida kemanusiaan yang paling mengerikan dibalik pembangunan Jalan Raya Pos atau lebih dikenal dengan nama Jalan Daendels. Jalan raya yang dibangun melalui kerja paksa itu, memiliki panjang 1000 kilometer, membentang dari Anyer-Panarukan. Sebagai sisi kelam pelaksanaan pembangunan jalan tersebut, adalah banyaknya korban jiwa penduduk tanah Jawa yang menjadi tenaga pekerja paksa.
Pembangunan jalan raya itu berawal dari kota Anyer Jawa Barat  melewati Cilegon, Serang, Tangerang, Batavia, Depok, Bogor, Cianjur, Cimahi, Bandung, Sumedang, Cirebon, Brebes, Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Rembang, Tuban, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruhan, Probolinggo, hingga berakhir di kota Panarukan. Disebutkan dalam buku karangan Pramoedya Ananta Toer, bahwa gagasan membuat atau melebarkan jalan itu muncul dalam benak Herman Willem Daendeles waktu melakukan perjalanan darat dari Buetenzorg alias Bogor menuju Semarang pada tanggal 29 April 1808. Selain itu pada tanggal 5 Mei 1808 dalam perjalan, Daendels mengambil keputusan membikin sebuah jalan dari Bogor ke Karangsembung daerah Cirebon dengan jarak 250 kilometer.
Dalam pembuatan jalan yang memanjang di dekat pantai utara Pulau Jawa, banyak pekerja meninggal dunia akibat kelelahan. Tetapi banyak pula para pekerja yang meninggal dunia karena diserang binatang buas, penyakit malaria, atau perlakuan keras para kompeni Belanda. Banyak jasad para pekerja berkaparan di pinggir jalan, apalagi ketika pembangunan jalan melalui daerah yang sulit ditembus. Hal tersebut seperti terjadi di daerah Ciherang Sumedang atau yang sekarang dikenal dengan nama Cadas Pangeran, dimana para pekerja harus menetak pegunungan dengan hanya menggunakan peralatan sederhana. Dengan pekerjaan yang sangat berat itu, untuk pertama kali terdapat jumlah angka korban jatuh sekitar 5000 orang. Tetapi sumber dari Inggris melaporkan, bahwa seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan Raya Pos atau Jalan Raya Daendels tercatat lebih dari 12000 orang.
Pada waktu itu jenazah para pekerja tidak dikubur di pemakaman umum, tetapi dikubur di pinggir jalan yang sedang dibangun. Hal itu terpaksa dilakukan, karena para pekerja tidak boleh berhenti dalam bekerja. Karena lubang kubur dibuat secara tergesa-gesa, tentu saja sangat dangkal. Karena itu sering terjadi pada malam hari, kubur tersebut digali binatang buas. Tidak mengherankan, pada keesokan hari jenazah itu berada di atas makam dalam keadaan tercabik-cabik.
Disebutkannya pula di dalam buku karangan dari Pramoedya Ananta Tur, bahwa pembangunan Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels selesai pada tahun 1809. Jalan sepanjang 1000 km  itu untuk pelaksanaannya hanya  membutuhkan waktu 1 tahun saja, sehingga tercatat sebagai rekor dunia pada masanya. Para pekerja tidak secara sukarela mendaftar diri sebagai pekerja, tetapi atas tunjukan Kepala Desa atau Perangkat Desa yang dipaksa Belanda untuk mengirim rakyatnya sebagai pekerja pembuat jalan raya. Pada awalnya dengan senang hati para pekerja mau untuk didaftar, karena ada suatu janji mendapat bayaran besar dari Belanda. Akan tetapi setelah tahu bahwa banyak sekali tenaga kerja yang tidak pulang karena meninggal dunia atau sengsara dalam bekerja, sehingga banyak masyarakat khususnya laki-laki pergi mengungsi ke tempat lain atau melarikan diri ke tengah-tengah hutan untuk menghindari tunjukan menjadi pekerja paksa tersebut. Selain itu Belanda juga mengancam Kepala Desa dan perangkatnya, bahwa akan menjadikannya tenaga kerja bila tidak mengirim tenaga kerja. Hal ini  yang sangat ditakuti mereka, sehingga tidak jarang terjadi ada Kepala Desa atau perangkat desa yang ikut pergi dari desa, karena tidak bisa mengirimkan tenaga tambahan seperti yang dikehendaki Belanda.

 





0 komentar: