Rabu, 30 Desember 2009

Kawedanan Singenkidul



Yang dimaksud kawedanan Singenkidul disini, adalah nama pusat pemerintahan Kawedanan di kabupaten Grobogan. Pemerintahan kawedanan tersebut membawahi 4 wilayah kecamatan, terdiri dari kecamatan Tanggungharjo, Kedungjati, Tegowanu dan Gubug. Sekarang pemerintahan tingkat Kawedanan sudah dihapus, dan tiap kecamatan langsung di bawah pemerintahan kabupaten. Sebagai batasan cerita ini, hanya berkisar di wilayah 4 kecamatan saja. Legenda atau cerita yang ditulis, kebanyakan berkaitan dengan peninggalan atau nama desa yang dipercaya ada hubungan dengan kegiatan pendirian kraton dan masjid Demak. Ada juga cerita lain, yang berhubungan dengan pengembangan agama Islam di wilayah kawedanan Singenkidul.
Bila mengupas pemerintahan tingkat kawedanan, tidak lepas dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda waktu dulu. Semua kebijakan yang diambil, tentu untuk kepentingan pemerintahan mereka. Menurut penjelasan Tim Peneliti UNS (1991), pada tahun 1840 sistem administrasi wilayah dikembangkan seperti pola administrasi di negara Belanda. Berdasar pola tersebut, dikeluarkan Serat Angger-angger Nagari atau Serat Angger-angger Gunung yang menyangkut aturan, tata tertib maupun pemerintahan pedesaan. Pada awalnya untuk menjaga keamanan wilayah, diperlukan pos-pos penjagaan keamanan. Pos-pos penjagaan itu ditempatkan di sepanjang jalan, antara wilayah Surakarta-Semarang dan Surakarta-Yogyakarta-Semarang. Pos-pos penjagaan itu diberi nama pos tundan. Wilayah Gubernemen juga ditertibkan, dengan dibentuk Regenchap atau kabupaten Administratip. Pembentukan pos tundan ditingkatkan, dengan dibentuk Kabupaten Gunung Polisi yang diatur berdasarkan Staatblad 1847 nomor 30. Sedang kelengkapannya diatur berdasarkan Staatblad Van Ned. Indie 1854 nomor 32. Saat itu tugas Bupati adalah sebagai Bupati Prajurit, merangkap Kepala Pengadilan Wilayah yang bertindak sebagai Polisi Daerah. Abdi Dalem Wedono dan Panewu Mantri masuk golongan polisi, yang merangkap pelaksana dalam bidang pemerintahan. Kawedanan Singenkidul awalnya juga merupakan pos tundan. Pada tahun 1847 pos tundan beralih menjadi pemerintahan kawedanan, dan diberi nama kawedanan Singenkidul. Pos tundan itu terletak di desa Rowosari, yang terletak di sebelah barat daya kota Gubug. Sayang tidak ada data yang menjelaskan, mengapa waktu itu letak pos tundan berada di pedesaan yang jauh dari jalan raya. Menurut cerita yang beredar di masyarakat, bahwa pemberian nama Singenkidul diambil dari kata singen (dahulu) berada di sebelah kidul (selatan). Karena letak kantor kawedanan dulu di sebelah Selatan desa Gubug, maka diberi nama kawedanan Singenkidul. Tetapi ada cerita bahwa nama itu diambil dari pohon singen besar, yang tumbuh di halaman kantor. Karena dari jauh hanya pohon singen itu yang tampak, sehingga kantor kawedanan diberi nama Singenkidul. Mana yang benar versi pemberian nama itu, wa llahu a’lam bish shawab.
Menurut cerita, kantor kawedanan Singenkidul itu menghadap ke Utara. Bentuknya sederhana, dinding terbuat dari anyaman bambu dilapisi kotoran lembu dan aspal. Agar tampak bersih, dicat putih menggunakan kapur (gamping). Di halaman kantor terdapat pohon singen, yang tumbuh besar dan rindang. Di depan kantor ada jalan desa, menuju ke Utara dan tembus jalan yang menghubungkan kota Semarang - Salatiga - Demak - Grobogan. Sampai sekarang jalan itu masih ada, yang digunakan penduduk pergi ke sawah. Tetapi sayang, ujung jalan di desa Gubug tertutup terminal bis antar Provinsi. Sebelum kantor kawedanan Singenkidul dipindah ke Gubug, terlebih dahulu dibangun rumah dinas pejabat wedono. Rumah dinas itu sangat besar berbentuk limasan, dilengkapi pendopo yang luas. Di depan kantor didirikan rumah tahanan yang kokoh. Dinding dan pintunya dibuat dari kayu jati tebal, bagian luar dan dalam dicat hitam menggunakan aspal. Dapat dibayangkan, betapa gelap bila berada di dalam rumah tahanan itu. Setelah rumah dan kantor kawedanan selesai dibuat, dipindahnya kantor kawedanan dari desa Rowosari ke desa Gubug. Sayang tidak ada catatan, kapan bangunan kantor itu didirikan. Juga tidak ada data, kapan pindahnya kantor kawedanan dari desa Rowosari ke desa Gubug. Kemungkinan pindahnya kantor kawedanan itu, hampir bersamaan dengan dipindahkannya masjid Gubug dari pinggir sungai Tuntang ke tempat sekarang ini.
Bila pindahnya kantor kawedanan dihubungkan dengan pindah masjid Gubug ke tempat baru, mungkin terjadi sebelum tahun 1900. Dipindahnya masjid Gubug berdasarkan data yang ada, terjadi pada tahun 1902. Bukti tahun kepindahan masjid Gubug, seperti tertera pada prasasti di dalam masjid yang berbunyi : ”Ingkang paring idine pangalihing masjid punika Kanjeng Raden Mas Tumenggung Harjo Purbo Hadiningrat Bupati ing negari Semarang wondene Kanjeng Raden Hamngabehi Hadi Prodjo wedono negari Gubug Bangun Mas Muhammad Naib Al-Qodli Gubug kolo hadeke masjid ing dinten Ahad Legi tanggal 14 Robi’ul Awwal (sanah bin akhir) tahun jim akhir 1322 (H) 1822 tahun (jowo) Syahru 26 Mehi 1902 (M)". Rupa-rupanya wedono Bangun Mas Muhammad masih memegang tradisi budaya Islam zaman dulu, dengan berdirinya suatu kerajaan yang harus dilengkapi masjid. Maka setelah kantor kawedanan dipindahkan, masjid Gubug di bantaran sungai Tuntang dipindah di depannya. Bangunan masjid Gubug dulu, berbentuk rumah adat Jawa model pencu tinggi. Serambi depan berbentuk limasan, dengan dinding terbuat dari kayu jati. Didirikan di atas umpak tinggi, berlantai papan jati. Seluruh bangunan dicat hijau, sehingga menunjukkan suasana teduh dan damai. Berdasarkan data yang ada, diketahui masjid Gubug dibuat tahun 1895 M. Tahun pembuatan masjid dapat dilihat, pada pahatan yang ada pada salah tiangnya. Dalam masjid juga ada mimbar, yang dibuat tahun 1897 M. Tahun itu juga dapat dilihat, dari adanya tulisan tahun pada mimbar. Dibangun juga menara cukup tinggi di sebelah kanan serambi. Di kanan dan kiri serambi masjid, dibuat kolah besar tempat wudlu.

Sabtu, 19 Desember 2009

Orang Cina Datang Ke Gubug

Dijelaskan dalam buku “Sejarah Hari Jadi Kabupaten Grobogan” karangan Tim Peneliti UNS Surakarta (1991), bahwa Belanda lebih suka memilih orang Cina sebagai partner kerja. Waktu itu orang Cina dipercaya, memungut pajak dari warga pribumi. Selain itu juga diberi kebebasan, menjadi tengkulak atau pengijon di tingkat Distrik (Kawedanan). Melihat hasil bumi desa Gubug yang berlimpah, ada beberapa taoke dari Semarang datang membeli. Sejak itu setiap pagi ada iring-iringan gerobag ditarik lembu, datang dari Semarang menuju desa Gubug. Sore hari iring-iringan gerobag kembali ke Semarang, membawa muatan hasil bumi.
Ternyata mereka juga menjadi reintenir, dengan bunga tinggi. Akibatnya para petani tidak dapat mengembalikan hutang, terpaksa menjual hasil panen kepada taoke dengan harga murah. Ada juga yang yang tidak bisa membayar hutang, terpaksa menjual tanaman padinya dengan sistem ijon. Karena desa Gubug dipandang aman, ada orang Cina membeli sebidang tanah di Gubug. Mereka memilih tanah pinggir jalan, menuju pasar Gubug. Hal tersebut penting, karena mempermudah pembelian polowijo dari penduduk pribumi. Maka setiap pagi hari, di depan rumah terlihat timbangan dacin tergantung pada tiang bambu berkaki tiga. Terdengar suara keras mereka, saat menawar padi atau polowijo yang akan dibelinya. Pekerjaan yang mereka lakukan itu, oleh orang Cina dinamakan batiak.
Melihat hasil panen padi di desa Gubug yang berlimpah, ada 3 orang Cina kaya membuka usaha penggilingan padi. Karena itu di desa Gubug waktu dulu, ada 3 pabrik penggilingan padi besar. Pabrik padi tersebut adalah pabrik kidul (selatan) karena letaknya di sebelah selatan, pabrik tengah karena letaknya di tengah dan pabrik lor (utara) karena letaknya di utara. Beras hasil penggilingan dikirim ke Semarang, atau ke kota besar di tanah Jawa. Untuk menampung hasil pembelian padi dari petani yang berlimpah, tiap pabrik padi memiliki halaman yang luas sebagai tempat jemuran dan menumpuk padi yang akan digiling. Karena itu terlihat masing-masing pabrik penggilingan padi, akan memiliki banyak tumpukan padi yang tinggi.
Pada suatu ketika orang Cina desa Gubug ingin mendirikan klenteng. Dengan cara iuran mereka mengumpulkan dana, untuk dibelikan bahan bangunan yang dibutuhkan. Didatangkan tukang kayu dan tukang batu dari Semarang dan Jepara. Sebagai perancang bangunan, ditunjuk seorang Cina dari Semarang. Untuk mengerjakan bangunan klenteng membutuhkan waktu lama, karena membutuhkan ketelitian guna menunjukkan adanya unsur seni Cina. Berdasarkan pahatan tulisan pada bagian atap, diketahui dibuat tahun 1868 M. Bentuk tulisannya berhuruf Wei Yhang (suatu sandi berhuruf Cina), bila diterjemahkan akan menunjukkan angka tahun tersebut. Di dalam klenteng dibuatkan altar besar, yang dipenuhi ornament berbentuk bunga. Altar tersebut diletakkan pada bagian utama, di atasnya diletakkan kimsin (patung dewa) serta tempat menancapkan batang hio soa.

Suasana klenteng akan ramai, bila warga Cina merayakan tahun baru Imlek. Dengan iuran mereka mendatangkan pertunjukan wayang Poo The Kie (wayang golek asli Cina) dari Semarang. Pertunjukan itu menceritakan lakon babat asli, yang ada di negara Cina. Cerita yang dimainkan kebanyakan tentang kerajaan atau pahlawan, yang pernah ada di negara Cina zaman dulu. Pertunjukan berlangsung berhari-hari, bahkan kadang juga berlangsung hampir satu bulan. Kebahagiaan orang Cina waktu itu, ternyata dinikmati juga oleh penduduk pribumi. Mereka dapat ikut melihat pertunjukan wayang poo The Hie, yang diselenggarakan oleh orang Cina. Sejak sore mereka berkumpul di halaman klenteng, menunggu pertunjukan wayang potehi dimulai. Di sekitar klenteng juga ada orang pribumi, yang berjualan makanan kecil. Mereka menjajakan makanan ringan khas pedesaan, berupa kacang rebus, kentang hitam rebus, ketela rebus. Setelah pertunjukan wayang potehi dimulai, semua penonton duduk di depan panggung sambil menikmati makanan kecil yang dibelinya. Dalam hal ini penduduk pribumi hanya menonton gerak-gerik wayang, karena dalang menggunakan dialog bahasa Cina yang tidak diketahuinya. Tetapi mereka akan ikut bersorak, bila tokoh yang dikaguminya menang perang. Berdasarkan penjelasan Sagiyo Waluyo dalam majalah Panyebar Semangat bulan Januari 2009, bahwa wayang Poo The Hie berasal dari desa Hokkian di negara Cina. Pertunjukan itu diiringi musik, yang dimainkan lima orang. Jenis musik tersebut berupa dongke (tambur Cina), sian bak (toala siaw-trompet), erhu (rebab), ya na (melodi kecil), dan siau sen (suling). Cerita yang sering dimainkan, antara lain Sie Djin koei, Sun Go Kong, Kwe Tju Gie, Sun Pin, Tek Dje Heng, Sie Kong. Adapun crita yang dianggap kramat untuk dimainkan adalah Sam Kok (tiga Negara), dan Hong Sin (penganugerahan para malaikat). Biasanya dalang wayang Poo The Hie akan berpuasa lebih dahulu, bila akan memainkan cerita yang dianggap keramat. Dalang juga tidak boleh salah dalam memainkan wayang, karena dapat mendatangkan petaka bagi penontonnya. Rupa-rupanya ada keinginan warga Cina, untuk memiliki alat permainan liong. Permainan itu asli negara RRC, yang sudah dimiliki klenteng-klenteng besar di Jawa. Bentuk alat permainan berupa naga tiruan, mempunyai panjang sekitar 12 m. Memainkan liong dibutuhkan 9 orang, yang mengupayakan agar liong melenggak-lenggok seperti ular berjalan. Untuk musik pengiring, dibutuhkan 4 orang penabuh bedug, kencreng dan gembreng. Setelah memiliki alat permainan liong, setiap sore pemuda-pemuda Cina berlatih bermain di halaman klenteng. Ramai bunyi musik pengiring, yang mengundang penduduk sekitar datang menonton. Konon orang Cina juga mempunyai gagasan, memiliki tanah makam khusus warga Cina. Tempat yang diinginkan adalah di pegunungan, yang jauh dari pusat keramaian. Hal itu disesuaikan dengan budaya asli leluhur mereka, yang memakamkan jenazah di pegunungan. Menurut kepercayaan bahwa dengan memakamkan jenazah di tempat yang tinggi, arwahnya akan selalu dekat dengan para dewa. Atas bantuan pemerintah Belanda, mereka berhasil memiliki sebidang tanah di desa Kuwaron. Walaupun tidak di atas bukit, tetapi tanah itu agak tinggi dibandingkan tanah di sekitarnya. Karena jumlah warga Cina masih sedikit, hanya beberapa jenasah saja yang telah dimakamkan di situ. Tetapi dengan berkembangnya penduduk, makam cina di desa Kuwaron dianggap tidak memadai lagi. Atas bantuan pemerintah Belanda, mereka berhasil mendapat tanah lebih luas di daerah pegunungan. Letaknya di desa Kapung, kurang lebih 6 kilo meter di sebelah selatan desa Gubug. Sejak itu makam Cina di desa Kuwaron tidak digunakan lagi, dan dialihkan ke tempat pemakaman baru di Kapung sampai sekarang. Sayang tidak ada catatan yang menjelaskan, sejak kapan makam itu mulai dipakai. Makam cina di desa Kuwaron yang tidak digunakan, sekitar tahun 1965 diambil alih pemerintah Kabupaten Grobogan untuk mendirikan Sekolah Tehnik Negeri. Beberapa buah makam warga Cina digali, untuk dipindahkan ke pemakaman Cina di desa Kapung. Waktu diadakan penggalian makam, banyak peti mati (terbelo) yang masih utuh. Di dalam terbelo ditemukan perhiasan emas berupa gelang dan kalung, yang terletak di samping kerangka jenazah. Menurut cerita warga Cina sendiri, bahwa keluarga sengaja memasukkan benda yang disayangi oleh orang yang meninggal dunia, Adapun tujuannya agar arwah orang yang meninggal dunia tidak penasaran, karena selalu ingat benda-benda kesayangannya yang tertinggal di alam dunia. Ada juga yang memasukkan beberapa uang logam, dan katanya sebagai bekal perjalanan orang yang meninggal dunia. Hal itu sampai sekarang masih dilakukan, oleh mereka yang masih percaya adat leluhurnya.

Mbah Pilang

Menurut cerita orang-orang tua desa Gubug, bahwa waktu dulu krajan desa Gubug ada di seputaran pasar Gubug sekarang ini. Wilayahnya meliputi dukuh Pilang Wetan, Pilang Lor, Pilang Kidul dan Kemiri. Tetapi dukuh Pilangwetan dan Kemiri memisahkan diri, dan berdiri menjadi desa. Desa Pilangwetan masuk kabupaten Demak, sedang desa Kemiri masuk wilayah kabupaten Grobogan. Konon dulu lurah desa Gubug (tidak diketahui namanya), mempunyai menantu bernama Sobariman. Menurut cerita, dia berasal dari daerah Demak.
Sobariman diberi tanah dan sawah oleh mertuanya, terletak di pedukuhan Pilangkidul sekarang. Karena tekun mengolah sawah, keluarganya dapat  hidup kecukupan. Keluarga Sobariman senang membantu warga, yang sedang tertimpa kesusahan. Sering memberi petuah dan jalan keluar yang baik, terhadap warga yang tertimpa masalah. Warga yang dibantu tidak hanya dari daerah sekitar, tetapi juga warga dari pedukuhan lain yang masih di wilayah desa Gubug sendiri. Karena kewibawaan serta kesenangan membantu warga, sehingga beliau dipilih warga menjadi kepala dukuh. Walau sudah menjadi kepala dukuh, beliau tidak juga mengurangi kesenangannya membantu warga yang tertimpa kesusahan. Karena itu nama beliau terkenal di desa Gubug, bahkan sampai di lain daerah.
Menurut cerita disamping senang membantu warga, beliau juga senang menyadarkan orang yang berbuat kesalahan. Adapun cara yang dipakai, konon menggunakan cara yang unik. Pernah pada suatu hari ada pencuri tertangkap warga, dan diserahkan kepada beliau sebagai kepala dukuh. Beliau tidak menyerahkan kepada upas kantor kawedanan, justru diajak makan bersama. Setelah selesai makan, pencuri diberi nasehat dan disuruh pulang. Uniknya pencuri itu masih diberi beberapa ikat gabah dan uang saku. Konon sejak itu, pencuri menjadi jera dan bertobat tidak melakukan perbuatannya lagi. Cara unik seperti itu rupanya yang dilakukan beliau, guna menyadarkan orang yang melakukan perbuatan salah.

Sobariman wafat dalam usia tua, dan jenazahnya dimakamkan di pedukuhan Pilang Kidul. Karena letak makam beliau berada di pedukuhan Pilangkidul, maka sampai sekarang beliau dipanggil MBAH PILANG. Walau sudah meninggal dunia, tetapi warga dukuh Pilangkidul bahkan warga desa Gubug masih mengenang jasa beliau terhadap warga. Oleh warga desa Gubug, kompleks makam beliau sekarang dibangun megah. Bahkan sampai sekarang masih banyak warga desa setempat yang tertimpa kesusahan, datang ke makam beliau untuk minta petunjuknya. Ada pula warga yang datang, hanya untuk ngluwari ujar. Hal tersebut dilakukan, sesuai apa yang diucapkan bila keinginannya terkabulkan. Untuk mengenang jasanya terhadap warga desa Gubug dulu, setiap tanggal 1 Syuro warga desa Gubug mengadakan acara haul bagi beliau.

Petilasan Batursigit

Setelah rakit yang rusak selesai diperbaiki, perjalanan dilanjutkan lagi. Tetapi ketika sampai di suatu pedukuhan (sekarang daerah Ngroto-Gubug), ada salah satu rakit tersangkut pohon di pinggir sungai. Karena tali pengikat rakit putus, rombongan berhenti untuk mengikatnya.
Ketika para santri sedang mengikat rakit, tiba-tiba terdengar suara adzan magrib dari arah dukuh di dekatnya. Para santri bergegas menuju dukuh itu, untuk melaksanakan sholat. Ketika bertanya pada penduduk, dijawab bahwa di daerah itu tidak ada surau. Akhirnya para santri melaksanakan sholat pada sebidang tanah datar, yang terletak di pinggir sungai. Demikian juga waktu Imsya, suara adzan terdengar kembali. Mereka berusaha mengamati arah datangnya suara adzan itu. Menurut mereka datangnya suara adzan dari arah Barat Laut, searah dengan kraton Glagahwangi.
Konon cerita di tempat itu,  rombongan bermufakat akan mendirikan masjid. Mereka akan mendirikan masjid itu, hanya dalam waktu semalam. Malam itu bulan bersinar sangat terang, sehingga sinarnya dapat membantu para santri dalam bekerja. Secara beramai-ramai mereka mendirikan tiang-tiang calon masjid, kadang diselingi pula oleh bunyi palu dan gergaji memotong kayu. 
Ternyata suara ramai mereka membangunkan penduduk pedukuhan itu. Karena bulan bersinar terang, penduduk mengira sudah pagi. Perawan desa bergegas mengambil padi dari lumbung, untuk ditumbuk menjadi beras. Sebentar kemudian terdengar ramai, suara antan beradu dengan lesung. 
Bunyi orang menumbuk padi itu, telah membangunkan ayam milik penduduk pedukuhan. Binatang itu berlari ke tempat orang yang sedang menumbuk padi, untuk mencari ceceran gabah di sekitarnya. Semakin ramailah ditempat itu oleh adanya suara ayam mengais gabah, yang kadang diselingi suara kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Terkejutlah para santri mendengar suara kokok ayam, dan mereka mengira hari sudah pagi. Lemaslah tubuh mereka semua, karena upaya mendirikan masjid dalam semalam telah gagal. Sambil menggerutu mereka membongkar masjid yang hampir jadi, dan diusung ke pinggir sungai untuk diikat menjadi rakit.
Ketika para santri sedang membongkar bangunan masjid, ternyata bulan masih bersinar tinggi di atas. Barulah mereka semua sadar, bahwa saat itu masih tengah malam. Mereka mencari arah datangnya suara kokok ayam, yang ternyata dari tempat para perawan yang menumbuk padi. Karena badan lelah kurang tidur, ada seorang santri mengeluarkan umpatan kepada para perawan desa itu. Konon dalam umpatannya mengatakan, sampai besok di dukuh itu akan selalu ada perawan tidak laku kawin. Menurut cerita masyarakat desa Ngroto sekarang, umpatan itu ternyata menjadi kenyataan. Konon sejak dulu hingga sekarang, di desa Ngroto selalu ada perawan desa tidak laku kawin. Apakah hal itu disebabkan umpatan santri zaman dulu, wa llahu a’lam bish shawab.


Bekas tempat akan didirikannya masjid tersebut, oleh penduduk pedukuhan diberinya nama ”Batur Sigit ”, (batur artinya tanah yang tinggi, sedangkan sigit artinya masjid). Karena tanah itu sampai sekarang terkenal wingit, sehingga masyarakat desa Ngroto tidak ada yang berani menggunakannya sebagai ladang atau tempat tinggal.


Sugihmanik 1

Terjadinya Desa Sugihmanik
Setelah semua rakit dihanyutkan melalui sungai Tuntang, sebagian dari rombongan mengikuti perjalanan Sunan Kalijaga mencari kayu yang cocok dibuat genting sirap. Pada suatu hari perjalanan rombongan sampai di suatu pedukuhan pinggir hutan, yang konon bernama dukuh “Matamu”. Berhentilah rombongan di pedukuhan itu, untuk beristirahat dan melaksanakan sholat. Ketika semua santri sedang beristirahat, Sunan Kalijaga pergi memeriksa hutan di sekitarnya. Ternyata di sebelah selatan dukuh Matamu, terdapat kawasan hutan jati yang pohonnya lurus-lurus dan berusia tua. Beliau kemudian memerintahkan para santri, untuk menebangan pohon-pohon jati itu. Beberapa hari kemudian, tampak beribu-ribu genting sirap berjajar rapi di pinggir hutan. Sangat puas hati Sunan Kalijaga melihat genting-genting sirap, sehingga beliau berkenan memberi nama hutan itu ”Hutan Jati Sirap”.

Pada suatu hari, Sunan Kalijaga berkenan untuk dibuatkan surau. Siang dan malam surau tersebut dikerjakan para santri, sehingga tidak lama kemudian surau itu jadi. Beliau juga berkenan, untuk dibuatkan kentongan dan bedug. Pergilah beberapa orang santri mencari kayu, yang akan dibuat kentongan dan bedug. Konon kayu yang diperoleh terlalu panjang, hingga beliau memerintahkan memotongnya menjadi dua. Bagian ujung dibuat bedug, dan dipasang di surau pedukuhan Matamu. Sedangkan bagian pangkalnya juga dibuat bedug, yang dipersiapkan dipasang di masjid Demak. Setelah surau yang lengkap dengan bedug dan kentongan selesai dibuat, beliau masih punya keinginan dibuatkan sebuah balai. Balai itu akan digunakan sebagai tempat mengajar para santri, serta akan digunakan sebagai tempat bermusyawarah. Bentuk balai yang dibuat sangat megah, karena didirikan di atas tanah agak tinggi. Dinding dan lantainya terbuat dari lembaran kayu jati tebal, serta atapnya dibuat dari genting sirap. Karena balai itu bentuknya memanjang, para santri memberi nama “Balai Panjang”.

Konon pada suatu hari datang musim kemarau panjang, sehingga mata air dan sumur penduduk kering. Sunan Kalijaga sangat prihatin melihat hal itu, maka beliau kemudian duduk diatas batu besar dekat balai Panjang. Beliau memanjatkan doa, dan memohon ampun kepada Allah SWT agar pedukuhan terhindar dari bahaya kekeringan. Konon setelah selesai berdoa, tiba-tiba dari bawah batu terdengar suara ikan berenang. Mendengar suara itu, diutuslah beberapa orang santri menggulingkan batu besar yang didudukinya. Ternyata di bawah batu terdapat sendang, yang sangat jernih airnya. Di dalam sendang ada beberapa ekor ikan palung, yang sedang berenang di permukaan air. Air dalam sendang memancar keluar, disertai riak-riak yang berkilauan seperti manik-manik. Melihat riak air yang keluar dari sendang seperti butiran manik, Sunan Kalijaga berkenan mengganti nama pedukuhan Matamu menjadi pedukuhan “Sugihmanik”. Karena sendang itu berjasa menolong mereka, Sunan Kalijaga berkenan memberi nama sendang “Sentono Dalem”.

Syahdan ketika sendang Sentono Dalem memancarkan air sangat deras, di sebelah timur sendang juga muncul sendang baru. Karena air yang keluar dari sendang sangat deras, sehingga para santri mengatakan airnya mudal-mudal keluar. Dari kata mudal-mudal itu, Sunan Kalijaga memberi nama sendang “Mudal”.
Kembali pada cerita, karena ada suara ikan palung sehingga dapat ditemukan sendang. Sunan Kalijaga kemudian berpesan, pada penduduk Sugihmanik, agar sampai besok tidak makan ikan palung. Karena itu sampai sekarang ini, penduduk desa Sugihmanik pantang memakan ikan palung. Mereka takut mendapat petaka, bila melanggar pesan Sunan Kalijaga dulu. Benar atau tidak tentang hal itu, wa llahu a’lam bish shawab.
Setelah kebutuhan genting sirap tercukupi, para santri memikulnya untuk dibawa ke Demak. Namun sampai di tengah perjalanan, barulah ingat bahwa bende pemberi aba-aba tertinggal. Karena takut dimarahi gurunya, ada seorang santri berniat mengambil. Tetapi dicegah Sunan Kalijaga dengan berkata : ”Wis ben bende kuwi keri ono dukuh Sugihmanik, mergo mbesuk dukuh kuwi bakal dadi desa sing rame” (Biarkanlah bende itu tertinggal di pedukuhan Sugihmanik, karena besok pedukuhan itu akan jadi desa yang ramai). Ternyata benar ucapan Sinan kalijaga itu, karena desa tersebut akhirnya menjadi ramai dan padat penduduknya.

Bende peninggalan rombongan Sunan Kalijaga sampai sekarang masih ada, disimpan oleh penduduk Sugihmanik. Akan tetapi bende tersebut sekarang sudah lapuk dan pecah, sehingga pada pelaksanaan apitan digunakanlah bende duplikatnya. Balai Panjang masih juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara apitan, yang diselenggarakan oleh masyarakat setiap tahun sekali. Bedug yang dibuat para santri dulu juga masih ada. Menurut cerita masyarakat, letak bedug itu harus sejajar dengan letak bedug masjid Demak. Konon bila tidak sejajar, kulit bedug akan mudah robek. Adapun sebabnya kayu bedug itu dulu, satu pohon dengan bedug yang dipasang di masjid Demak. Benar atau tidaknya hal itu, wa llahu a’lam bish shawab. Kentongan gantung sekarang ada di rumah bapak Istanto, mantan pejabat Kepala Desa Sugihmanik. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bila menyimpan kentongan di rumahnya maka akan dapat menjadi Kepala Desa. Kepercayaan itu telah dibuktikan ayah Istanto, waktu beliau mencalonkan diri menjadi Kepala Desa Sugihmanik. Hingga bertahun-tahun beliau menjabat sebagai Kepala Desa, karena menyimpan kentongan itu. Hal itu juga turun pada putranya Istanto, yang dapat terpilih menjadi Kepala Desa Sugihmanik hingga dua periode.

Sugihmanik 2

Apitan di Sugihmanik

Bende peninggalan Sunan Kalijaga zaman dulu, sekarang ini sudah lapuk dan pecah dimakan usia. Setiap ada kegiatan Apitan, bende itu selalu diarak ke Balai Panjang. Tetapi setelah bende tidak bisa digunakan lagi, dibuatkannya bende diplikat. Walau pada pelaksanaan upacara Apitan bende tersebut masih dibawa, tetapi yang dipukul adalah bende duplikat. Sebelum pelaksanaan upacara ritual Apitan di Balai Panjang, dilakukan dulu pengurasan sendang Sentono Dalem. Pengurasan sendang tidak boleh dilakukan sembarangan, tetapi perlu dipersiapkan sesajen. Sebelum pengurasan, dituangkan air tape ke dalam sendang. Sebagai tujuannya untuk menutup sumber air, yang ada di tengah sendang. Setelah pengurasan dan pembersihan sendang selesai, dituangkan lagi air tape ke dalam sendang. Tujuan penuangan air tape tersebut, agar air sendang cepat penuh kembali. Konon dulu pengurasan sendang Sentono Dalem, hanya boleh dilakukan penduduk asli desa Sugihmanik. Itupun juga hanya bagi orang-orang, yang mempunyai anak 5 laki-laki semua (keluarga Pandawa lima). Tetapi sekarang yang diperbolehkan ikut menguras, hanya yang mempunyai anak jumlah ganjil.


Batu besar yang dulu digunakan alas duduk Sunan Kalijaga pada waktu berdoa meminta air, sekarang diletakkan di sebelah barat sendang Sentono Dalem. Batu itu masih dikeramatkan penduduk setempat, yang konon dapat mendatangkan celaka terhadap siapa berani berbuat kurang sopan di dekatnya.  Menurut cerita pernah ada seseorang dari luar daerah, datang mengunjungi sendang Sentono Dalem. Dengan sengaja berdiri di atas batu itu, dengan berkata yang menyepelekan kekeramatannya. Penduduk sekitar telah memperingatkan, agar orang tersebut turun dari batu. Tetapi peringatan tidak dihiraukan, bahkan mencemooh kepercayaan penduduk terhadap batu itu. Tidak lama kemudian orang tersebut jatuh, dan ketika akan ditolong ternyata sudah meninggal dunia.

Selasa, 15 Desember 2009

Kyai Santri 1

Asal Mula Desa Tanggung
Kembali pada rombongan para santri, yang melakukan perjalanan pulang ke Demak. Baru saja keluar dari dukuh Sugihmanik, telah terhalang sungai yang mengalir deras. Terpaksa rombongan harus menyeberang sungai, sambil membawa beban sirap yang berat. Ketika rombongan berhasil menyeberang, ternyata ada seorang santri yang sakit dan akhirnya meninggal dunia. Rombongan terpaksa berhenti, untuk merawat jenazah temannya. Pada waktu itu terjadi perdebatan oleh para santri, untuk memakamkan jenazah temannya. Ada yang menginginkan dimakamkan di pinggir sungai, ada yang menghendaki dimakamkan di dukuh Sugihmanik. Tetapi kebanyakan menghendaki, agar jenazah dibawa ke Demak untuk dimakamkan disana.  
Memang yang paling baik adalah memakamkan jenazah itu di dukuh Sugihmanik, tetapi mereka merasa tanggung bila harus kembali ke dukuh itu. Konon setelah daerah tempat santri yang meninggal dunia menjadi dukuh, oleh masyarakat diberi nama Tanggung. Nama itu diambil dari kata mertanggung (bahasa Jawa), yang akhirnya menjadi Tanggung. Dukuh Tanggung berkembang menjadi desa, dan akhirnya menjadi ibu kota kecamatan Tanggungharjo yang membawahi desa Tanggungharjo, Brabo, Padang, Sugihmanik, Ringinpitu, Kaliwenang, Mrisi, Kapung dan yang terakhir adalah Ngambakrejo. Sedang sungai yang dulu pernah diseberangi para santri, sekarang menjadi tapal batas desa Sugihmanik dengan Tanggungharjo. Karena dulu ketika di tempat itu para santri merasa sudah berada di tengah perjalanan, maka sungai tersebut kemudian diberi nama Kali Tengah.
Syahdan perjalanan ke Demak diteruskan lagi, dengan membawa jenazah temannya yang meninggal dunia. Konon menurut cerita ketika iring-iringan sampai di suatu tempat, santri yang membawa jenazah minta untuk digantikan. Tetapi tidak ada seorangpun santri yang bersedia menggantikan, karena sudah merasa berat membawa bebannya sendiri. Jenazah santri itu kemudian diletakkan di pinggir jalan, dan tidak ada seorangpun mau mengangkat. Semua menjadi bingung, karena tidak bisa memecahkan masalah itu. Konon tempat itu akhirnya menjadi pedukuhan, yang oleh penduduk setempat diberi nama ”pedukuhan Bebelan”. Nama tersebut diambil dari kata bebel (Jawa), karena dulu para santri merasa kebingungan dan tidak bisa memecahkan permasalahan. 
Sunan Kalijaga kemudian mengambil keputusan. Beliau memberi  perintah para santri, untuk memakamkan jenazah temannya di daerah itu. Beliau minta agar jenasah dimakamkan di suatu tempat, yang dapat dilihat oleh orang yang lewat.  Hal tersebut memang perlu dilakukan, dengan tujuan agar besok ada orang yang mau merawat makam santri itu.
Pada suatu hari datang seorang penggembala kerbau ke tempat santri itu dimakamkan. Karena tahu makam santri Sunan Kalijaga, dengan suka rela dirawatnya makam tersebut. Karena tidak tahu nama santri yang meninggal dunia, maka oleh penggembala kerbau diberinya nama ”Makam Santri”. 
Konon setelah penggembala kerbau tersebut merawat makam santri itu, kehidupannya mengalami perubahan yang sangat pesat. Kerbau yang digembalakan menjadi bertambah banyak, dan kehidupan rumah tangganya menjadi kecukupan. Ternyata apa yang dilakukan penggembala kerbau itu ditiru penduduk, yang bertempat tinggal di sekitar makam santri. Mereka datang dan ikut merawat makam santri itu, yang dilanjutkan dengan berdoa untuk memohon kepada Allah SWT agar diberi keselamatan serta kehidupan yang cukup.
Konon setelah datang beberapa kali dan berdoa di makam santri,  rezekinya menjadi semakin bertambah. Kabar kejadian itu akhirnya berkembang ke daerah lain, sehingga semakin banyak orang percaya dan datang berkunjung serta berdoa di makam santri. Hingga sekarang masih banyak orang luar daerah, datang mengunjungi makam santri itu.
Menurut keterangan juru kunci makam santri, bahwa hari baik untuk melaksanakan niat di tempat itu pada malam Jum’at Wage. Adapun mengapa hari itu dikatakan sebagai hari baik untuk melaksanakan niat ?. Sayang juru kunci tidak dapat menjelaskan, karena dia hanya mendapat pesan dari pendahulunya. Adapun letak Makam Santri atau Makam Mbah Santri sekarang ini, berada di pedukuhan Tlogotanjung desa Tlogorejo, Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan.

Kyai Santri 2


Cerita Lain Kyai Santri
Ada juga cerita ydari masyarakat Tlogotanjung sekarang, tentang asal mula Kyai Santri. Konon Kyai Santri adalah keturunan Mpu Supo yang menjadi empu di kraton Demak Bintoro. Konon beliau pergi ke pelosok daerah, guna  mengajar  agama Islam pada warga pedukuhan yang dilalui. Pada suatu hari sampailah beliau di dukuh Tlogotanjung. Karena banyak warga yang datang untuk berguru, akhirnya beliau menetap di pedukuhan itu. Kyai Santri bersahabat dengan Mpu Cogeh, penduduk dukuh Tlogorejo. Dari persahabatan itu, Mpu Cogeh akhirnya menikah dengan adik Kyai Santri yang bernama Nyi Pangkreman.
Pada suatu hari Kyai Santri berkunjung ke rumah Nyi Pangkreman, yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Karena jarang bertemu adiknya, agak lama Kyai Santri berada di sana. Dalam pertemuan itu, ternyata menimbulkan rasa cemburu pada diri Mpu Cogeh. Karena itulah Mpu Cogeh akhirnya mempunyai niat, akan membunuh Kyai Santri.
Pada suatu hari Mpu Cogeh datang ke dukuh Tlogotanjung, untuk bertemu dengan Kyai Santri. Karena sudah tahu maksud kedatangan Mpu Cogeh, maka Kyai Santri merelakan diri untuk dibunuhnya. Tetapi karena tidak bersalah dan karena kesaktian yang dimilikinya, keris yang ditusukkan Mpu Cogeh ke badannya tidak dapat melukai. Hati Mpu Cogeh menjadi semakin panas, dan memaki bahwa Kyai Santri orang bersalah tetapi takut mati. Walau sudah dijelaskan tentang kedatangannya itu, tetapi Mpu Cogeh yang sudah terbakar api cemburu tetap tidak dapat reda. Karena merasa malu atas tuduhan yang dilontarkan Mpu Cogeh, Kyai Santri membuka rahasia kelemahannya. Beliau mengaku bahwa dirinya dapat mati, bila dadanya ditusuk dengan selembar daun bambu. Mendengar pengakuan itu, dengan cepat Mpu Cogeh meraih daun bambu di sampingnya. Ditusuknya dada Kyai Santri berkali-kali hingga roboh, dan akhirnya meninggal dunia.

Melihat Kyai Santri sudah meninggal dunia, puaslah hati Mpu Cogeh. Dibiarkan jenazah itu tergeletak di pinggir sawah, dan ditinggal pulang ke rumahnya. Hingga berhari-hari jenazah Kyai Santri berada di tempat itu, yang akhirnya ditemukan penggembala kerbau. Konon penggembala kerbau dapat menemukan Kyai Santri, karena mencari kerbaunya yang beberapa hari tidak pulang. Ketika penggembala sampai di tempat itu, dilihatnya kerbau miliknya berada di dekat jenazah Kyai Santri. Karena merasa senang kerbaunya dapat ditemukan, penggembala kerbau itu kemudian memakamkan jenazah Kyai Santri. Dengan tekun penggembala kerbau merawat makam Kyai Santri, dan selalu mendoakan agar arwah beliau diterima di sisi Allah Swt. Konon setelah penggembala kerbau merawat makam Kyai Santri, maka kehidupannya mengalami perubahan yang baik. Kerbau yang digembalakannya beranak-pinak menjadi banyak, sehingga dapat mencukupi kehidupan keluarga. Rumahnya yang dulu kecil, berubah menjadi besar. Melihat perubahan kehidupan yang dialami penggembala kerbau, banyak tetangga dekat mencoba menirunya. Ternyata doa mereka banyak yang terkabul, dan kehidupan mereka juga berubah menjadi baik. Tentu saja kabar itu cepat berkembang ke mana-mana, akhirnya ditiru orang-orang dari lain daerah. Percaya atau tidak tentang hal itu, wa llahu a’lam bish shawab.



Senin, 14 Desember 2009

Mendirikan Balai di Hutan

Kembali pada cerita para santri, yang membawa balok-balok kayu jati, untuk membuat kraton dan masjid Demak. Konon perjalanan tidak dilakukan melalui sungai saja, tetapi juga ada yang dibawa melalui darat. Pekerjaan dilakukan secara estafet, dari tempat satu menuju tempat berikutnya. Perjalanan tersebut lewat juga di desa Kuwaron sekarang ini, yang waktu itu masih wujud hutan. Berbulan-bulan para santri berada di daerah Kuwaron, yang akhirnya mereka mendirikan balai besar untuk istirahat dan melaksanakan sholat. Disamping membuat balai besar, para santri juga membuat kolam tempat wudlu. Letak kolam berada di belakang balai besar, yang dindingnya diberi srumbung (anyaman bambu).
Pada tiap malam, para santri berkumpul di balai. sambil bercerita tentang pengalaman yang didapatkan hari itu. Ada yang hanya tiduran sambil mendengarkan temannya, yang sedang melantunkan tembang-tembang Jawa.
Syahdan setelah balok-balok kayu selesai diusung, para santri itupun menyusun dan mengikatnya menjadi rakit. Setelah selesai dikerjakan, rakit itu dihanyutkan melalui sungai Tuntang menuju Demak.
Sepeninggal para santri, balai besar yang pernah dijadikan tempat tinggal itu kosong. Bertahun-tahun lamanya tidak ada yang menempati, sehingga atapnya penuh tanaman hutan yang menjalar. Di sekelilingnya banyak ditumbuhi semak belukar, sehingga menutupi bangunan balai besar. Karena bambu yang dijadikan srumbung sudah lapuk, sehingga tanah di pinggir kolam longsor.
Konon cerita rombongan mbah Dermo yang sedang mengungsi, telah menemukan balai besar itu. Secara gotong-royong tempat tersebut dibersihkan, kolam srumbung yang longsor diperbaiki. Setelah balai besar menjadi bersih, maka rombongan tinggal di balai besar itu.
Sekarang kolam srumbung itu sudah berubah menjadi sumur biasa. Letak sumur bekas kolam srumbung, sekarang berada di sebelah tenggara masjid besar Kuwaron atau tepatnya di belakang rumah Bapak Achmadi. Walau sudah menjadi sumur biasa, tetapi penduduk masih menyebut dengan nama sumur srumbung.


Menurut cerita sumur tersebut pernah menunjukkan keajaiban. Konon ketika desa Kuwaron dilanda musim kemarau panjang, air sumur milik penduduk setempat mengalami kekeringan. Penduduk datang ke sumur srumbung, yang airnya hampir sampai ke permukaan tanah. Walau penduduk desa mengambilnya airnya,  tetapi air dalam sumur tidak habis. Permukaan air sumur tidak menunjukkan penurunan, bahkan seperti tidak pernah diambil airnya saja.
Sebagai bukti bahwa dulu desa Kuwaron merupakan kawasan hutan lebat, antara lain telah ditemukan sebatang kayu jati besar tertimbun tanah. Hal itu terjadi pada tahun 1990, ketika seorang penduduk menggali tanah untuk dibuat sumur. Ketika galian mencapai 4 m, cangkulnya membentur benda keras. Setelah diamat-amati, ternyata benda itu batang kayu jati besar. Dengan dibantu beberapa orang tetangga, kayu jati diangkat naik ke permukaan tanah. Setelah dipotong-potong, ternyata dapat digunakan membuat sebuah rumah cukup besar.

Minggu, 13 Desember 2009

Kuwaron & Jatipecaron 1


Sekilas Kerja Paksa Rodi
Jalan raya Daendels dibangun atau tepatnya dilebarkan atas prakarsa Herman Willem Daendeles, yang pada waktu itu menjabat sebagai Gubernur di wilayah Hindia Belanda. Beliau memerintah di Hindia Belanda tahun 1808 – 1818, yang merupakan tunjukan raja Belanda Louis Napoleon. Louis Napoleon sendiri adalah adik Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte,  ketika  Perancis menjajah Belanda. Tugas utama Herman Willem Daendeles mempertahankan wilayah Hindia Belanda, dari kemungkinan diserang Negara Inggris yang juga menginginkan wilayah Hindia Belanda.
Semua masyarakat sekarang ini tahu akan kekejaman yang dilakukan Herman Willem Daendeles, walau hanya melalui cerita atau buku yang ada. Adapun bentuk kekejaman yang dilakukan terhadap bangsa kita, antara lain dalam pembuatan jalan Daendels dan kerja paksa. Seperti tertulis dalam buku ”Jalan Raya Pos, Jalan Daendeles” karya Pramoedya Ananta Toer, yang merupakan pengalaman pribadi peristiwa genosida kemanusiaan yang paling mengerikan dibalik pembangunan Jalan Raya Pos atau lebih dikenal dengan nama Jalan Daendels. Jalan raya yang dibangun melalui kerja paksa itu, memiliki panjang 1000 kilometer, membentang dari Anyer-Panarukan. Sebagai sisi kelam pelaksanaan pembangunan jalan tersebut, adalah banyaknya korban jiwa penduduk tanah Jawa yang menjadi tenaga pekerja paksa.
Pembangunan jalan raya itu berawal dari kota Anyer Jawa Barat  melewati Cilegon, Serang, Tangerang, Batavia, Depok, Bogor, Cianjur, Cimahi, Bandung, Sumedang, Cirebon, Brebes, Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Rembang, Tuban, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruhan, Probolinggo, hingga berakhir di kota Panarukan. Disebutkan dalam buku karangan Pramoedya Ananta Toer, bahwa gagasan membuat atau melebarkan jalan itu muncul dalam benak Herman Willem Daendeles waktu melakukan perjalanan darat dari Buetenzorg alias Bogor menuju Semarang pada tanggal 29 April 1808. Selain itu pada tanggal 5 Mei 1808 dalam perjalan, Daendels mengambil keputusan membikin sebuah jalan dari Bogor ke Karangsembung daerah Cirebon dengan jarak 250 kilometer.
Dalam pembuatan jalan yang memanjang di dekat pantai utara Pulau Jawa, banyak pekerja meninggal dunia akibat kelelahan. Tetapi banyak pula para pekerja yang meninggal dunia karena diserang binatang buas, penyakit malaria, atau perlakuan keras para kompeni Belanda. Banyak jasad para pekerja berkaparan di pinggir jalan, apalagi ketika pembangunan jalan melalui daerah yang sulit ditembus. Hal tersebut seperti terjadi di daerah Ciherang Sumedang atau yang sekarang dikenal dengan nama Cadas Pangeran, dimana para pekerja harus menetak pegunungan dengan hanya menggunakan peralatan sederhana. Dengan pekerjaan yang sangat berat itu, untuk pertama kali terdapat jumlah angka korban jatuh sekitar 5000 orang. Tetapi sumber dari Inggris melaporkan, bahwa seluruh korban yang tewas akibat pembangunan Jalan Raya Pos atau Jalan Raya Daendels tercatat lebih dari 12000 orang.
Pada waktu itu jenazah para pekerja tidak dikubur di pemakaman umum, tetapi dikubur di pinggir jalan yang sedang dibangun. Hal itu terpaksa dilakukan, karena para pekerja tidak boleh berhenti dalam bekerja. Karena lubang kubur dibuat secara tergesa-gesa, tentu saja sangat dangkal. Karena itu sering terjadi pada malam hari, kubur tersebut digali binatang buas. Tidak mengherankan, pada keesokan hari jenazah itu berada di atas makam dalam keadaan tercabik-cabik.
Disebutkannya pula di dalam buku karangan dari Pramoedya Ananta Tur, bahwa pembangunan Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels selesai pada tahun 1809. Jalan sepanjang 1000 km  itu untuk pelaksanaannya hanya  membutuhkan waktu 1 tahun saja, sehingga tercatat sebagai rekor dunia pada masanya. Para pekerja tidak secara sukarela mendaftar diri sebagai pekerja, tetapi atas tunjukan Kepala Desa atau Perangkat Desa yang dipaksa Belanda untuk mengirim rakyatnya sebagai pekerja pembuat jalan raya. Pada awalnya dengan senang hati para pekerja mau untuk didaftar, karena ada suatu janji mendapat bayaran besar dari Belanda. Akan tetapi setelah tahu bahwa banyak sekali tenaga kerja yang tidak pulang karena meninggal dunia atau sengsara dalam bekerja, sehingga banyak masyarakat khususnya laki-laki pergi mengungsi ke tempat lain atau melarikan diri ke tengah-tengah hutan untuk menghindari tunjukan menjadi pekerja paksa tersebut. Selain itu Belanda juga mengancam Kepala Desa dan perangkatnya, bahwa akan menjadikannya tenaga kerja bila tidak mengirim tenaga kerja. Hal ini  yang sangat ditakuti mereka, sehingga tidak jarang terjadi ada Kepala Desa atau perangkat desa yang ikut pergi dari desa, karena tidak bisa mengirimkan tenaga tambahan seperti yang dikehendaki Belanda.

 





Kuwaron & Jatipecaron 2


Terjadinya Desa Kuwaron

Dengan adanya kerja paksa yang dilakukan Belanda, banyak Kepala Desa dan perangkatnya yang pergi meninggalkan desa. Hal tersebut seperti Mbah Dermo, yang berasal dari daerah Pegandon Kendal. Karena takut tekanan pihak Belanda, terpaksa pergi untuk menyelamatkan diri. Diajaknya keluarga dan beberapa pengikutnya pergi ke hutan. agar tidak tertangkap patroli Belanda, Selain itu rombongan juga menghindari perkampungan yang dijumpai di tengah perjalanan, karena takut dilaporkan kepada patroli Belanda. Dapat dibayangkan bila tertangkap patroli Belanda, dipastikan hukuman berat akan diterimanya. Perlu diketahui bahwa waktu itu, banyak bangsa sendiri menjadi penjilat penjajah Belanda.
Karena kecurigaannya terhadap orang lain, sehingga selama pelarian tidak pernah mengenal nasi. Mereka hanya makan buah-buahan hutan, atau ketela pohon dan umbi-umbian yang ditemukan di tengah jalan. Hawa dingin dan gigitan nyamuk menjadi musuh utama, waktu malam hari di tengah hutan. Belum lagi adanya hujan lebat, waktu mereka sedang tidur. Dapat dibayangkan betapa berat perjalanan mereka, hanya untuk mencari keselamatan hidup.
Pada suatu hari rombongan itu berhasil menemukan balai besar, yang ada di dalam hutan. Setelah melihat situasi yang aman, mereka membersihkannya untuk dijadikan tempat istirahat. Karena ada diantara mereka jatuh sakit, berhari-hari rombongan berada di tempat itu. Ketika dirasakan daerah itu benar-benar aman, Mbah Dermo memutuskan untuk rombongan tinggal di daerah itu. Mereka kemudian bergotong-royong, membuat gubug-gubug di sekitar balai itu. Juga membuka hutan, untuk dijadikan ladang dan tanah persawahan. Berhari-hari usaha keras dilakukan, yang akhirnya dapat terlihat juga hasilnya. Tanah yang dijadikan sawah sudah siap untuk ditanami padi, dan ladang yang ditanami ketela pohon juga sudah mulai bersemi. Tetapi selama mereka di tempat itu, hubungan dengan masyarakat luar masih dibatasi. Mereka masih khawatir, karena takut pelariannya diketahui patroli Belanda. Rupa-rupanya kekejaman kompeni Belanda terhadap para pekerja paksa, masih menghantui diri mereka semua.
Pada suatu hari, pedukuhan itu kedatangan rombongan lain yang dipimpin Mbah Lebai. Konon rombongan itu berasal dari daerah Indramayu, yang melarikan diri karena takut dijadikan pekerja paksa. Mbah Lebai sebagai pemimpin rombongan meminta izin Mbah Dermo, untuk dapat beristirahat di pedukuhan itu. Dengan senang hati Mbah Dermo mengizinkan, karena terhadap nasib mereka yang sama. 
Melihat situasi pedukuhan yang aman dari jangkauan patroli Belanda, Mbah Lebai mempunyai niat ikut bertempat tinggal di pedukuhan itu. Mendengar permintaan, dengan senang hati Mbah Dermo menerimanya. Rombongan Mbah Lebai segera mendirikan gubug-gubug, untuk dijadikan tempat tinggal. Selain itu juga membuka hutan baru di dekatnya, untuk dijadikan ladang dan tanah persawahan, Dengan berdirinya beberapa buah gubug lagi di tempat itu, daerah hutan yang semula sepi berubah menjadi dukuh yang ramai. Kedua rombongan hidup rukun, serta saling membantu menghadapi kesulitan yang ditemukan.
Konon setelah pekerjaan pembuatan jalan raya Anyer-Panarukan selesai dikerjakan, barulah penduduk pedukuhan berani membuka hubungan dengan masyarakat luar. Mereka berani menjual hasil pertanian kepada penduduk di pedukuhan lain, serta membeli barang kebutuhan sehari-hari. Walau situasi sudah aman, tidak ada niat mereka untuk kembali ke daerahnya. 
Walau di pedukuhan baru untuk kedua rombongan hidup rukun, tetapi mereka belum juga mempunyai pemimpin. Maka dari adanya musyawarah warga, Mbah Dermo terpilih menjadi pemimpin dan Mbah Lebai sebagai wakilnya.
Karena semua penduduk hidup bercocok tanam, jelas membutuhkan alat-alat pertanian untuk mengolah tanah. Ada beberapa orang mencoba membuat alat pertanian, dengan mendirikan bengkel pandai besi. Karena adanya beberapa bengkel alat pertanian, semakin ramailah suasana di pedukuhan pada siang hari. Hampir setiap saat terdengar suara palu beradu dengan landasan, menempa besi membara untuk dibuat alat pertanian sabit dan cangkul. Ternyata alat pertanian juga dibutuhkan penduduk pedukuhan lain, sehingga mereka banyak yang datang ke pedukuhan baru untuk membelinya.  
Sudah beberapa tahun mereka tinggal di pedukuhan itu, ternyata dukuh itu belum juga diberi. nam.  Darlam musyawarah banyak sekali usulan diajukan, untuk pemberian nama pedukuhan baru itu. Ada yang mengajukan nama seperti pedukuhan di daerah Kendal, ada pula yang mengajukan nama seperti pedukuhan daerah Indramayu. Pertentangan memberi nama dukuh ternyata cukup alot, karena masing-masing rombongan ingin menonjolkan nama seperti di daerahnya. Mbah Dermo sebagai kepala dukuh mengambil keputusan, bahwa pedukuhan itu diberi nama ”Kuwaron”.
Konon nama Kuwaron diambil dari bahasa Arab “Kurun“, yang artinya ububan (alat peniupan bara api pada bengkel pandai besi). Dari asal kurun akhirnya berubah menjadi kwaron, dan kemudian menjadi Kuwaron. Tetapi ada cerita, bahwa nama Kuwaron diambil dari kata di dalam kitab Al Quran ”kuwariro” yang artinya koco brenggolo (bhs. Jawa). Jadi kuwariro atau kaca brenggolo artinya tempat atau daerah, yang dapat dijadikan suri tauladan. Mana yang benar untuk pemberian nama dukuh itu, wa llahu a’lam bish shawab.
Kedamaian di pedukuhan Kuwaron itu, semakin lama menjadi pudar juga. Hal tersebut dimulai dari adanya warga yang berani menentang, semua hasil musyawarah bersama. Penetangan-penentangnya ternyata dari rombongan asal Indramayu, yang masih menghendaki Mbah Lebai sebagai pemimpin pedukuhan. Walau Mbah Dermo beserta Mbah Lebai sudah berusaha menyadarkan, tetapi dua kelompok itu sulit menerimanya. Karena itu hampir setiap hari, selalu ada percekcokan antar warga yang disebabkan permasalahan kecil saja.   

Kuwaron & Jatipecaron 3

Terjadinya Desa Jatipecaron

Melihat percekcokan yang sering terjadi di pedukuhan Kuwaron, menyebabkan Mbah Lebai tidak betah tinggal di pedukuhan itu. Pada suatu hari beliau mengutarakan maksudnya kepada Mbah Dermo, bahwa akan pergi mencari tempat tinggal baru. Tentu saja Mbah Dermo keberatan, karena Mbah Lebai sudah dianggap seperti adik sendiri. Dibujuknya juga para pengikutnya, untuk tidak meninggalkan pedukuhan Kuwaron. Tetapi niat Mbah Lebai sudah bulat. Dengan  disertai sanak famili dan pengikutnya,  beliau pergi meninggalkan pedukuhan Kuwaron. Rombongan berjalan ke utara, untuk mencari tempat yang cocok untuk tempat tinggal. Namun ketika rombongan sampai di pinggir sungai Tuntang, ternyata sungai sedang banjir besar Rombongan tidak berani menyeberang, dan berhenti di pinggir sungai menunggu banjir surut. Seharian rombongan di pinggir sungai, tetapi banjir tidak juga surut. Kemudian mereka mencari tempat agak tinggi, untuk mendirikan gubug tempat beristirahat. Walau berhari-hari menunggu banjir surut, tetapi tidak juga kunjung tiba. Mbah Lebai kemudian mengambil keputusan, untuk mendirikan pedukuhan baru di pinggir sungai.
Konon setelah Mbah Lebai dan rombongan pergi, hati Mbah Dermo sangat sedih sekali. Apalagi melihat warganya sulit diatur, menyebabkan Mbah Dermo menjadi putus asa.  Pada suatu hari beliau mempunyai niat, akan menyusul Mbah Lebai di pedukuhan baru. Dengan diiringi sanak keluarga, pergilah Mbah Dermo meninggalkan pedukuhan Kuwaron. Setelah tiba di pedukuhan baru, diutarakan maksud kedatangannya itu. Dikatakan pula bahwa dirinya tidak mampu menjadi pemimpin pedukuhan Kuwaron, karena penduduknya sulit diatur. Tentu saja Mbah Lebai terkejut mendengar permintaan Mbah Dermo, karena pedukuhan yang dulu pernah dipimpinnya berdua harus ditinggalkan. Beliau juga prihatin terhadap pedukuhan Kuwaron, karena tidak ada pemimpinnya. Dengan halus beliau menolak permintaan itu dengan ucapan : ”Balio maneh menyang dukuh Kuwaron, podo wae wong dukuh iki sejatine uga pecahane dukuh Kuwaron”. (Kembalilah ke pedukuhan Kuwaron, sama saja desa ini sebenarnya adalah pecahan pedukuhan Kuwaron).
Tetapi Mbah Dermo sudah bertekad, tidak akan kembali ke dukuh Kuwaron. Beliau akan mencari tempat baru, bila tidak diizinkan tinggal di pedukuhan itu. Karena merasa kasihan, beliau berkata : ”Yo wis yen pancen koyo ngono karepmu, kowe manggono ono sisih kidul dene aku tak manggon ana sisih lor” (Ya sudah kalau memang seperti itu kehendakmu, kamu tinggal di sebelah selatan sedang saya tinggal di sebelah utara).
Akhirnya Mbah Dermo dan sanak keluarga menetap di pedukuhan itu, dan tinggal di sebelah selatan atau tepatnya di dekat sungai Tuntang. Sedangkan Mbah Lebai tetap di tempat semula, di daerah yang terletak di sebelah Utara. Setelah Mbah Lebai berkata bahwa pedukuhan baru itu sebenarnya pecahan Kuwaron, maka pedukuhan itu kemudian diberi nama Jatipecaron. Konon nama itu sebenarnya kependekan dari kata ”Sejatine Pecahane Kuwaron”.

Hingga akhir hayatnya kedua tokoh itu tinggal di pedukuhan Jatipecaron. Setelah keduanya wafat, jenazah Mbah Lebai dimakamkan di pekuburan Kauman sedangkan Mbah Dermo dimakamkan di pekuburan dekat tanggul sungai Tuntang.
Makam Mbah Dermo sering kebanjiran, sehingga kayu nisannya lapuk dan hilang terbawa banjir. Karena dikenal sebagai makam wingit, tidak ada yang berani mengganti kayu nisan beliau. Tetapi karena makam beliau berada di bawah pohon preh, dengan hilangnya kayu nisan maka pohon preh itu dianggap pengganti nisan beliau.

Untuk menghormati Mbah Dermo sebagai tokoh yang berjasa mendirikan dan memimpin dukuh Kuwaron dulu, pada setiap bulan Apit perangkat desa Kuwaron datang berziarah ke makam beliau di dukuh Polaman desa Jatipecaron. Di tempat itu mereka mengadakan selamatan, minta kepada Allah SWT agar desa Kuwaron dan penduduknya diberi keselamatan.
Membahas tentang Mbah Lebai, yang dimakamkan di desa Jatipecaron. Bila menyebut nama Lebai, akan muncul pertanyaan tentang siapakah nama asli beliau. Hingga sekarang tidak ada seorangpun yang tahu, tentang siapa nama asli beliau. Tetapi bila kita pelajari, bahwa lebai adalah merupakan nama jabatan perangkat desa Modin atau Kaur Kesra. Bahkan sampai sekarang masyarakat masih terbiasa menyebut nama seorang perangkat desa, dengan panggilan jabatannya (misalkan pak Lurah, pak Modin, pak Carik). Hal seperti itu yang menyebabkan nama aslinya pudar, dan berubah menjadi nama jabatannya. Demikian juga beliau, yang kemungkinan juga perangkat desa dengan jabatan lebai (Modin/Kaur Kesra). Karena warga sering memanggil beliau dengan jabatannya, sehingga nama asli beliau pudar dan ganti dengan nama ”Mbah Lebai”.  
Di desa Jatipecaron terdapat sebuah makam kuno, yang dipercaya penduduk setempat sebagai makam Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal Bakal. Menurut cerita bahwa beliau merupakan cikal bakal,  atau pendiri dukuh Jatipecaron jaman dulu. Benarkah pendiri desa Jatipecaron adalah Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal Bakal ?.

Pertanyaan itu memang sulit dibuktikan, karena penduduk sudah terlanjur percaya bahwa pendiri desa Jatipecaron adalah Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal Bakal. Tetapi bila kita perhatikan nama Jatipecaron, yang konon merupakan singkatan dari ”sejatine pecahane Kuwaron”. Tentu saja dapat kita duga, bahwa pendiri dukuh itu adalah Mbah Lebai. Dengan melihat makam Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal Bakal terletak di dukuh Kaloran, tidak menutup kemungkinan tempat itu dulu merupakan petilasan Mbah Lebai. Hal itu diperkuat adanya pesan yang pernah disampaikan Mbah Lebai kepada Mbah Dermo, bahwa beliau akan bertempat tinggal di pedukuhan sebelah Utara (Jawa = Lor) dan Mbah Dermo disuruh bertempat tinggal di sebelah Selatan (jawa = kidul). Kemungkinan besar dari perkataan di sebelah Lor, akhirnya sekarang pedukuhan dekat makam Mbah Sutoboyo atau Mbah Cikal Bakal menjadi dukuh Kaloran. Mana yang benar tentang pendapat tersebut, wa llahu a’lam bish shawab.

Sabtu, 12 Desember 2009

KH Abdurrahman Munadi



Di desa Jatipecaron Kecamatan Gubug, selain terdapat makam Mbah Lebai dan Mbah Dermo juga ada makam seorang Kyai terkenal bernama Kyai Haji Abdurroman Munadi. Makam tersebut terletak di pedukuhan Polaman-Jatipecaron, dekat dengan tanggul sungai Tuntang. Menurut cerita Kyai Haji Habib Husain warga desa Ngroto Kecamatan Gubug, bahwa Kyai Haji Abdurrahman Munadi pada waktu kecil bernama Munadi, Beliau dilahirkan di pedukuhan Polaman, pada sekitar tahun 1805. Putra Kyai Arifin, seorang ulama berwibawa dan disegani masyarakat pedukuhan.
Seperti kebanyakan anak-anak kecil lain, pada waktu kecil Munadi juga senang bermain dengan teman-teman sebayanya. Tetapi ada satu kelebihan yang dimiliki Munadi, yaitu senang belajar ilmu agama. Setiap malam aktif belajar mengaji di masjid, yang diasuh oleh ayahnya sendiri Kyai Arifin. Ketika menginjak usia remaja, Munadi pergi menuntut ilmu di pondok pesantren milik kakeknya Kyai Haji Hasan Besari. Letak pondok pesantren itu berada di desa Tegalsari, yang masuk wilayah Ponorogo Jawa Timur. Setelah tamat dari pondok pesantren itu, Munadi meneruskan belajar di pondok pesantren Ceper Madiun. Setelah berhasil tamat belajar mengaji, dia pulang ke pedukuhan Polaman-Jatipecaron untuk membantu ayahnya mengajar mengaji kepada para santrinya.
Kyai Munadi menikah dengan putri seorang ulama (nama tidak jelas) dari desa Karanglangu-Kedungjati, dan beliaupun juga tinggal di daerah itu untuk membantu mertuanya mengajar mengaji. Hingga beberapa tahun beliau mengelola surau milik mertuanya itu, yang akhirnya tahun 1830 dengan dibantu Kyai Murtadlo dan Kyai Abdullah merubah surau kecil itu menjadi masjid. Adapun tahun pembuatannya, dapat dilihat dari prasanti di dalam masjid itu sendiri. Menurut penjelasan masyarakat desa Karanglangu, bangunan masjid itu dulu merupakan satu-satunya yang ada di wilayah kecamatan Kedungjati.
Kyai Munadi ternyata seorang kyai yang terkenal pada waktu itu, dan sering dibutuhkan warga lain desa untuk memberi dakwah. Beliau juga mempunyai kegiatan lain, yaitu mengajar mengaji di surau desa Kedungjati. Karena para ulama serta para santri di desa Kedungjati semakin banyak, sehingga beliau memprakarsai berdirinya sebuah masjid. Masjid tersebut sampai sekarang masih berdiri kokoh, terletak di dekat petilasan sonde Kedungjati. Tetapi prasasti pembuatan masjid sudah hilang, karena seringnya mengalami perbaikan.
Karena dalam pernikahannya tidak menurunkan putra, beliau menikah lagi dengan Nyi Siti Fatimah putri seorang ulama di desa Kedungjati. Dari perkawinannya tersebut, beliau mempunyai seorang putra bernama Abdul Jalil. Beliau pindah ke desa Ngambakrejo, karena menikah lagi dengan Nyi Maryamah. Dari perkawinannya itu, beliau mempunyai beberapa orang putra diantaranya bernama Kholil.
Pada suatu ketika beliau kembali ke pedukuhan Polaman, untuk mengajar mengaji pada para santri disana. Selama tinggal di pedukuhan Polaman, beliau kawin dengan Nyi Asiyah wanita asli pedukuhan setempat. Dari perkawinan itu beliau mempunyai empat orang putra, yaitu : Asror, Khofsoh, Umi Zumroh dan Umi Tsuaibah.
Pada suatu ketika beliau mempunyai niat, akan melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Setelah pulang melaksanakan ibadah haji, beliau mendapat nama panggilan baru Kyai Haji Abdurrahman Munadi. Selain mengajar mengaji di masjid Polaman, beliau juga membantu mengajar mengaji di surau milik Kyai Haji Muhammad Habib di desa Tambakan. Bersama dengan para sahabatnya, sekitar tahun 1837 beliau memprakarsai berdirinya sebuah masjid di desa Tambakan. Untuk tahun didirikannya masjid itu, dapat diketahui dari prasasti yang ada di dalam masjid. Dalam prasasti itu menyebutkan, bahwa salah seorang pemrakarsa berdirinya masjid Tambakan adalah Kyai Haji Abdurrahman dari Polaman Kulon pada tanggal 30 Rojab 1278 H (14 Maret 1862).
Pada suatu ketika atas prakarsa beliau, dipindahkannya masjid pedukuhan Polaman yang terletak di bantaran sungai Tuntang ke pedukuhan Polaman sebelah barat. Sebagai alasan dipindahnya masjid itu, karena sering kebanjiran bila sungai Tuntang meluap. Berdasarkan prasasti di dalam masjid pedukuhan Polaman, diketahui ttanggal pemindahan terjadi pada tanggal 18 Shofar tahun 1290 (18 Mei 1873).
Kyai Haji Abdurrahman Munadi mempunyai istri lagi bernama Nyi Yanti, berasal dari desa Grobogan. Istri yang ke empat itu kemudian dipindahkan ke desa Gubug, dan dibuatkan sebuah rumah di pedukuhan Pilang Lor Gubug (Dukoh / desa Gubug sebelah barat). Karena sering tinggal di rumah istri mudanya, beliau berkenan mendirikan sebuah surau dekat rumah istrinya itu. Konon menurut cerita bahwa dalam pembuatan surau tersebut, kayu yang akan digunakan ternyata berlubang di bagian tengah (bahasa jawa : growong). Tetapi atas kemukjizatan beliau, kayu jati tersebut dapat dirubah menjadi utuh . Karena itu kayu tersebut dapat digergaji, kemudian dibuat menjadi sebuah surau. Surau itu sekarang telah dibangun menjadi masjid, yang terletak di sebelah selatan jalan di desa Gubug ke arah Semarang (tepatnya berada di depan gereja Santo Petrus Gubug).
Cukup lama juga tinggal di desa Gubug, yang akhirnya pada hari Jum’at legi tanggal 14 Juni 1901 beliau wafat. Oleh famili beserta kerabatnya, jenazah beliau diminta untuk dimakamkan di pedukuhan Polaman. Pada waktu itu banyak sekali para santri serta kaum ulama, mengiring jenazah beliau untuk dihantarkan ke pemakaman di dukuh Polaman. Untuk memperingati jasa beliau dalam mengembangkan agama Islam, pada setiap tahun sekali diadakan haul yang dilaksanakan setiap tanggal 10-11 Asyura.
Di sebelah Utara makam beliau ada kompleks makam, yang terdapat adanya sebuah makam Kyai yang terkenal juga. Menurut keterangan masyarakat desa Jatipecaron, bahwa itu adalah makam Kyai Imam Biyoro. Konon Kyai tersebut berasal dari Kediri, yang dikejar tentara Belanda karena dianggap menentang. Dalam pelariannya beliau sampai di dukuh Janggan, yang sekarang ikut desa Pilangwetan Kecamatan Kebonagung Kabupaten Demak. Karena sangat kelelahan, tentara Belanda yang mengejar menjadi semakin dekat. Beliau berlari menuju ke tengah sawah, mendekati seorang petani yang mencangkul sawah. Menurut cerita petani yang didekati itu bernama Mbah Umar, yang juga seorang ulama di pedukuhan Janggan. Beliau minta tolong kepada Mbah Umar, agar bersedia menyembunyikan dirinya dari kejaran tentara Belanda. Hal itu jelas tidak mungkin dilakukan, karena mereka berdua berada di tengah sawah yang mudah diketahui tentara Belanda. Kyai Imam Biyoro berkata, bahwa dirinya akan bersembunyi di saku bajunya. Karena kelebihan yang dimiliki Kyai Imam Biyoro, beliau merubah badannya menjadi kecil sehingga dapat bersembunyi di dalam saku baju Mbah Umar. Tidak lama kemudian, tentara Belanda yang mengejarnya sampai di tempat itu. Dengan kasar dipaksanya Mbah Umar menunjukkan persembunyian Kyai Imam Biyoro. Dengan sabar Mbah Umar menjawab : ” Aku ora weruh, nanging yo embuh yen saiki”. (Aku tidak tahu, tetapi entah kalau sekarang). Setelah mendengar penjelasan Mbah Umar, tentara Belanda melanjutkan perjalanan menuju ke Selatan. Setelah serdadu Belanda itu pergi, keluarlah Kyai Imam Biyoro dari saku baju Mbah Umar. Oleh Mbah Umar beliau disuruh lari, untuk bersembunyi di dalam rumahnya.
Dijelaskan oleh masyarakat desa Jatipecaron, bahwa Mbah Umar adalah seorang ulama yang tidak mau menipu siapapun juga. Adapun yang dimaksud Mbah Umar dengan perkataan ”nanging embuh saiki”, bukannya beliau tidak tahu keberadaan Kyai Imam Boyoro. Yang dimaksud dari perkataan itu adalah ”entah kalau di dalam saku ini”, karena Kyai Imam Biyoro pada saat itu memang ada di dalam saku bajunya. Memang perkataan tersebut mempunyai arti berbeda, sehingga dapat mengecoh orang lain. Adapun benar atau tidaknya kejadian itu, Wa llahu a’lam bish shawab.
Kyai Imam Biyoro akhirnya menetap di pedukuhan Polaman, dan bersahabat akrab dengan Mbah Umar. Selama berada di pedukuhan Polaman, Kyai Imam Biyoro juga bersahabat dengan Kyai Haji Abdurrahman Munadi. Karena itu beliau juga ikut membantu mengajar mengaji, kepada para santri di pedukuhan Polaman. Pada waktu Kyai Imam Biyoro wafat, jenazah beliau dimakamkan di pedukuhan Polaman. Karena banyak jasanya terhadap masyarakat sekitar, sampai sekarang masih banyak warga setempat yang datang berziarah ke makam beliau.
Setelah ditinggal mati sahabatnya, sangatlah sedih hati Mbah Umar. Maka beliau berpesan kepada keluarganya semua, bila dirinya besok meninggal dunia agar dimakamkan disamping makam sahabatnya itu. Permintaan tersebut dituruti juga, dan ketika wafat jenazah beliau dimakamkan di pedukuhan Polaman.


Abdurrahman Ganjur 1



Pada zaman dulu di negara Persia terdapat keluarga Syeh Maulana Maghribi, dengan istrinya bernama Nyi Samsiyah. Keluarga itu mempunyai anak laki-laki, bernama Abdurrahman. Pekerjaan sehari-hari sebagai pedagang, yang mengedarkan barang dagangan ke pelosok-pelosok desa. Disamping berdagang, beliau juga menyebarkan agama Islam di daerah yang dilalui. Karena pekerjaannya sebagai seorang pedagang dan juga sebagai penyebar agama Islam, beliau mendapat nama lakofan (julukan) Maulana Maghribi yang artinya seorang musyafir yang menyebarkan agama Islam. Adapun siapa nama asli Maulana Maghribi, sayang tidak ada yang tahu.
Pada suatu ketika Syeh Maulana Maghribi pergi ke tanah Jawa, untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Bertahun-tahun beliau di tanah Jawa, tanpa memberi kabar istrinya. Karena rindu kepada ayahnya, setiap malam Abdurrahman selalu menangis. Nyi Samsiyah kebingungan melihat putranya itu, maka beliau bertekad menyusul suaminya ke tanah Jawa. Dengan menumpang kapal layar, berangkatlah Nyi Samsiyah bersama putranya menuju tanah Jawa. Turunlah Nyi Samsiyah bersama putranya di pelabuhan Cirebon, kemudian dicari rumah penduduk untuk tempat menginap. Di tempat yang baru itu Nyi Samsiyah kebingungan mencari keberadaan suaminya. Karena takut meneruskan perjalanan, beliau memutuskan sementara tinggal di Cirebon.
Syahdan pada suatu malam Sunan Gunungjati pulang dari mengajar mengaji, dan lewat di depan penginapan Nyi Samsiyah. Beliau merasa iba mendengar suara tangis anak kecil yang selalu menanyakan ayahnya. Beliau mendatangi rumah penginapan Nyi syamsiyah, menanyakan sebab anaknya menangis. Mendengar cerita Nyi Samsiyah, sangatlah terharu hati Sunan Gunungjati. Pada malam hari itu juga, diajaknya ibu dan anak itu untuk tinggal di rumahnya. Beliau berjanji, akan ikut membantu mencari keberadaan suaminya. Pada suatu hari Sunan Gunung Jati mendapat undangan dari Demak, guna menghadiri musyawarah para wali yang merencanakan pendirian kraton dan masjid Demak. Berangkatlah beliau ke Demak, dengan mengajak Nyi Samsiyah dan putranya.
Selama berada di Demak, mereka diberi tugas menanak nasi untuk makan para santri yang bekerja membuat masjid. Sedangkan Abdurrahman diberi tugas mengumpulkan kayu tatal, yang digunakan untuk menanak nasi. Sunan Kalijaga tertarik melihat ketekunan ibu dan anak itu, dalam bekerja, menyediakan makanan bagi para pekerja. Juga melihat sorot mata Abdurrahman, Sunan Kalijaga tahu bahwa anak itu memiliki suatu kelebihan. Karena itu beliau ingin mencoba, sampai dimana ketekunan Abdurrahman melaksanakan tugas yang diberikan. Beliau kemudian memberi tugas Abdurrahman untuk memukul bende, tanda para santri harus melaksanakan sholat atau istirahat.
Ternyata dalam memukul bende dia tidak menggunakan kayu, tetapi hanya menggunakan kepalan tangan (bahasa Jawa : diganjur). Walau menggunakan kepalan tangan, tetapi suaranya dapat terdengar sampai jauh. Dengan kelebihan itu, Abdurrahman diberi nama julukan Ganjur.
Pada suatu hari Sunan kalijaga ingin menguji lagi, tentang kelebihan yang dimiliki Abdurrahman. Disuruhnya Abdurrahman menunjukkan arah kiblat, yang akan dijadikan patokan pendirian masjid. Dengan tidak merasa ragu, ditunjuknya arah kiblat masjid dengan benar. Sebenarnya Sunan Kalijaga sudah tahu arah kiblat seperti yang ditunjuk Abdurrahman, tetapi hal itu hanya merupakan ujian terhadapnya. Konon cerita para santri kesulitan memasukkan purus tiang pada lubang blandar. Sudah beberapa kali dicoba, tetapi purus sulit masuk ke dalam lubang. Aburrahman kemudian naik ke atas, dan memukul blandar tersebut menggunakan tangan. Ternyata dengan sekali pukul, purus tersebut dapat masuk ke dalam lubang blandar.
Pada tahun 1479 masjid Demak selesai dikerjakan, ditandai dengan relief berbentuk bulus. Bila relief gambar bulus diuraikan, mempunyai arti :
Kepala bulus berarti angka satu …………............. (1)
Kaki empat berarti angka empat ….…................. (4)
Badab bulus berarti angka nol …………................. (0)
Ekor bulus berarti angka satu ……………............. (1)
Jadi relief gambar bulus itulah yang diambil sebagai pedoman oleh para ahli sekarang ini, bahwa telah selesai dibangun serta digunakan masjid Demak itu diyakini tahun 1401 Saka, atau tahun 1479 Masehi.
Setelah masjid Demak selesai dibangun, atas hasil musyawarah para wali maka Abdurrahman Ganjur diberi tugas menjadi Magersari masjid. Walau masih kecil, Abdurrahman sudah cekatan melaksanakan tugas. Sambil melaksanakan tugas, Abdurrahman juga tekun belajar mengaji kepada Sunan Kalijaga. Sedangkan pada malam hari Aburrahman belajar mengaji kepada ibunya, guna mempelajari kitab kuning yang dibawanya dari Persia dulu. Dengan belajar mengaji dari Sunan Kalijaga dan  ibunya, maka pengetahuan agama yang dimiliki melebihi para santri yang belajar lebih dulu. Karena itu ketika sedang melaksanakan tugas sebagai magersari masjid, kadang dia juga mengajar mengaji kepada para santri yang baru datang untuk belajar. Karena itu kebanyakan para santri memanggilnya kyai, atau lengkapnya Kyai Abdurrahman Ganjur. Nama Ganjur itu sendiri sebenarnya merupakan julukan, yang diberikan para santri waktu mendirikan masjid Demak. Hingga bertahun-tahun Abdurrahman bertugas sebagai magersari masjid, hingga sampai menginjak pada usia remaja.