Sabtu, 12 Desember 2009

KH Abdurrahman Munadi



Di desa Jatipecaron Kecamatan Gubug, selain terdapat makam Mbah Lebai dan Mbah Dermo juga ada makam seorang Kyai terkenal bernama Kyai Haji Abdurroman Munadi. Makam tersebut terletak di pedukuhan Polaman-Jatipecaron, dekat dengan tanggul sungai Tuntang. Menurut cerita Kyai Haji Habib Husain warga desa Ngroto Kecamatan Gubug, bahwa Kyai Haji Abdurrahman Munadi pada waktu kecil bernama Munadi, Beliau dilahirkan di pedukuhan Polaman, pada sekitar tahun 1805. Putra Kyai Arifin, seorang ulama berwibawa dan disegani masyarakat pedukuhan.
Seperti kebanyakan anak-anak kecil lain, pada waktu kecil Munadi juga senang bermain dengan teman-teman sebayanya. Tetapi ada satu kelebihan yang dimiliki Munadi, yaitu senang belajar ilmu agama. Setiap malam aktif belajar mengaji di masjid, yang diasuh oleh ayahnya sendiri Kyai Arifin. Ketika menginjak usia remaja, Munadi pergi menuntut ilmu di pondok pesantren milik kakeknya Kyai Haji Hasan Besari. Letak pondok pesantren itu berada di desa Tegalsari, yang masuk wilayah Ponorogo Jawa Timur. Setelah tamat dari pondok pesantren itu, Munadi meneruskan belajar di pondok pesantren Ceper Madiun. Setelah berhasil tamat belajar mengaji, dia pulang ke pedukuhan Polaman-Jatipecaron untuk membantu ayahnya mengajar mengaji kepada para santrinya.
Kyai Munadi menikah dengan putri seorang ulama (nama tidak jelas) dari desa Karanglangu-Kedungjati, dan beliaupun juga tinggal di daerah itu untuk membantu mertuanya mengajar mengaji. Hingga beberapa tahun beliau mengelola surau milik mertuanya itu, yang akhirnya tahun 1830 dengan dibantu Kyai Murtadlo dan Kyai Abdullah merubah surau kecil itu menjadi masjid. Adapun tahun pembuatannya, dapat dilihat dari prasanti di dalam masjid itu sendiri. Menurut penjelasan masyarakat desa Karanglangu, bangunan masjid itu dulu merupakan satu-satunya yang ada di wilayah kecamatan Kedungjati.
Kyai Munadi ternyata seorang kyai yang terkenal pada waktu itu, dan sering dibutuhkan warga lain desa untuk memberi dakwah. Beliau juga mempunyai kegiatan lain, yaitu mengajar mengaji di surau desa Kedungjati. Karena para ulama serta para santri di desa Kedungjati semakin banyak, sehingga beliau memprakarsai berdirinya sebuah masjid. Masjid tersebut sampai sekarang masih berdiri kokoh, terletak di dekat petilasan sonde Kedungjati. Tetapi prasasti pembuatan masjid sudah hilang, karena seringnya mengalami perbaikan.
Karena dalam pernikahannya tidak menurunkan putra, beliau menikah lagi dengan Nyi Siti Fatimah putri seorang ulama di desa Kedungjati. Dari perkawinannya tersebut, beliau mempunyai seorang putra bernama Abdul Jalil. Beliau pindah ke desa Ngambakrejo, karena menikah lagi dengan Nyi Maryamah. Dari perkawinannya itu, beliau mempunyai beberapa orang putra diantaranya bernama Kholil.
Pada suatu ketika beliau kembali ke pedukuhan Polaman, untuk mengajar mengaji pada para santri disana. Selama tinggal di pedukuhan Polaman, beliau kawin dengan Nyi Asiyah wanita asli pedukuhan setempat. Dari perkawinan itu beliau mempunyai empat orang putra, yaitu : Asror, Khofsoh, Umi Zumroh dan Umi Tsuaibah.
Pada suatu ketika beliau mempunyai niat, akan melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Setelah pulang melaksanakan ibadah haji, beliau mendapat nama panggilan baru Kyai Haji Abdurrahman Munadi. Selain mengajar mengaji di masjid Polaman, beliau juga membantu mengajar mengaji di surau milik Kyai Haji Muhammad Habib di desa Tambakan. Bersama dengan para sahabatnya, sekitar tahun 1837 beliau memprakarsai berdirinya sebuah masjid di desa Tambakan. Untuk tahun didirikannya masjid itu, dapat diketahui dari prasasti yang ada di dalam masjid. Dalam prasasti itu menyebutkan, bahwa salah seorang pemrakarsa berdirinya masjid Tambakan adalah Kyai Haji Abdurrahman dari Polaman Kulon pada tanggal 30 Rojab 1278 H (14 Maret 1862).
Pada suatu ketika atas prakarsa beliau, dipindahkannya masjid pedukuhan Polaman yang terletak di bantaran sungai Tuntang ke pedukuhan Polaman sebelah barat. Sebagai alasan dipindahnya masjid itu, karena sering kebanjiran bila sungai Tuntang meluap. Berdasarkan prasasti di dalam masjid pedukuhan Polaman, diketahui ttanggal pemindahan terjadi pada tanggal 18 Shofar tahun 1290 (18 Mei 1873).
Kyai Haji Abdurrahman Munadi mempunyai istri lagi bernama Nyi Yanti, berasal dari desa Grobogan. Istri yang ke empat itu kemudian dipindahkan ke desa Gubug, dan dibuatkan sebuah rumah di pedukuhan Pilang Lor Gubug (Dukoh / desa Gubug sebelah barat). Karena sering tinggal di rumah istri mudanya, beliau berkenan mendirikan sebuah surau dekat rumah istrinya itu. Konon menurut cerita bahwa dalam pembuatan surau tersebut, kayu yang akan digunakan ternyata berlubang di bagian tengah (bahasa jawa : growong). Tetapi atas kemukjizatan beliau, kayu jati tersebut dapat dirubah menjadi utuh . Karena itu kayu tersebut dapat digergaji, kemudian dibuat menjadi sebuah surau. Surau itu sekarang telah dibangun menjadi masjid, yang terletak di sebelah selatan jalan di desa Gubug ke arah Semarang (tepatnya berada di depan gereja Santo Petrus Gubug).
Cukup lama juga tinggal di desa Gubug, yang akhirnya pada hari Jum’at legi tanggal 14 Juni 1901 beliau wafat. Oleh famili beserta kerabatnya, jenazah beliau diminta untuk dimakamkan di pedukuhan Polaman. Pada waktu itu banyak sekali para santri serta kaum ulama, mengiring jenazah beliau untuk dihantarkan ke pemakaman di dukuh Polaman. Untuk memperingati jasa beliau dalam mengembangkan agama Islam, pada setiap tahun sekali diadakan haul yang dilaksanakan setiap tanggal 10-11 Asyura.
Di sebelah Utara makam beliau ada kompleks makam, yang terdapat adanya sebuah makam Kyai yang terkenal juga. Menurut keterangan masyarakat desa Jatipecaron, bahwa itu adalah makam Kyai Imam Biyoro. Konon Kyai tersebut berasal dari Kediri, yang dikejar tentara Belanda karena dianggap menentang. Dalam pelariannya beliau sampai di dukuh Janggan, yang sekarang ikut desa Pilangwetan Kecamatan Kebonagung Kabupaten Demak. Karena sangat kelelahan, tentara Belanda yang mengejar menjadi semakin dekat. Beliau berlari menuju ke tengah sawah, mendekati seorang petani yang mencangkul sawah. Menurut cerita petani yang didekati itu bernama Mbah Umar, yang juga seorang ulama di pedukuhan Janggan. Beliau minta tolong kepada Mbah Umar, agar bersedia menyembunyikan dirinya dari kejaran tentara Belanda. Hal itu jelas tidak mungkin dilakukan, karena mereka berdua berada di tengah sawah yang mudah diketahui tentara Belanda. Kyai Imam Biyoro berkata, bahwa dirinya akan bersembunyi di saku bajunya. Karena kelebihan yang dimiliki Kyai Imam Biyoro, beliau merubah badannya menjadi kecil sehingga dapat bersembunyi di dalam saku baju Mbah Umar. Tidak lama kemudian, tentara Belanda yang mengejarnya sampai di tempat itu. Dengan kasar dipaksanya Mbah Umar menunjukkan persembunyian Kyai Imam Biyoro. Dengan sabar Mbah Umar menjawab : ” Aku ora weruh, nanging yo embuh yen saiki”. (Aku tidak tahu, tetapi entah kalau sekarang). Setelah mendengar penjelasan Mbah Umar, tentara Belanda melanjutkan perjalanan menuju ke Selatan. Setelah serdadu Belanda itu pergi, keluarlah Kyai Imam Biyoro dari saku baju Mbah Umar. Oleh Mbah Umar beliau disuruh lari, untuk bersembunyi di dalam rumahnya.
Dijelaskan oleh masyarakat desa Jatipecaron, bahwa Mbah Umar adalah seorang ulama yang tidak mau menipu siapapun juga. Adapun yang dimaksud Mbah Umar dengan perkataan ”nanging embuh saiki”, bukannya beliau tidak tahu keberadaan Kyai Imam Boyoro. Yang dimaksud dari perkataan itu adalah ”entah kalau di dalam saku ini”, karena Kyai Imam Biyoro pada saat itu memang ada di dalam saku bajunya. Memang perkataan tersebut mempunyai arti berbeda, sehingga dapat mengecoh orang lain. Adapun benar atau tidaknya kejadian itu, Wa llahu a’lam bish shawab.
Kyai Imam Biyoro akhirnya menetap di pedukuhan Polaman, dan bersahabat akrab dengan Mbah Umar. Selama berada di pedukuhan Polaman, Kyai Imam Biyoro juga bersahabat dengan Kyai Haji Abdurrahman Munadi. Karena itu beliau juga ikut membantu mengajar mengaji, kepada para santri di pedukuhan Polaman. Pada waktu Kyai Imam Biyoro wafat, jenazah beliau dimakamkan di pedukuhan Polaman. Karena banyak jasanya terhadap masyarakat sekitar, sampai sekarang masih banyak warga setempat yang datang berziarah ke makam beliau.
Setelah ditinggal mati sahabatnya, sangatlah sedih hati Mbah Umar. Maka beliau berpesan kepada keluarganya semua, bila dirinya besok meninggal dunia agar dimakamkan disamping makam sahabatnya itu. Permintaan tersebut dituruti juga, dan ketika wafat jenazah beliau dimakamkan di pedukuhan Polaman.


2 komentar:

  1. trimakasih shobat atas cerita mbah munadi, mbah umar janggan (mbah jenggot) aku juga masih kerabat polaman. Yg sekarang beromisili di Juwana Pati

    BalasHapus
  2. sebuah Sejarah yang perlu kita pelajari dan dijadikan tauladan. Terima kasih sharing informasinya...

    BalasHapus