Rabu, 09 Desember 2009

Stasiun Tanggung



Di desa Tanggung kecamatan Tanggungharjo, terdapat bangunan stasiun tua. Setasiun yang dibangun pada zaman penjajahan Kolonial Belanda itu, sampai sekarang masih berdiri kokoh. Dari penjelasan Kepala Stasiun setempat, bahwa stasiun itu paling tua di Indonesia. Sampai sekarang stasiun tersebut masih digunakan untuk melayani penumpang, jurusan Solo sampai Yogyakarta. Pembangunan stasiun Tanggung itu bersamaan dibangunnya stasiun Mijen, yang ada di kota Semarang. Tetapi sekarang stasiun Mijen sudah tidak ada lagi, karena tanahnya digunakan untuk bangunan lain.
Berdasarkan data yang ada, kedua stasiun itu dibangun bersamaan dengan mulai dikerjakan jalur rel kereta api dari Kemijen (Semarang) menuju Tanggung yang berjarak 25 km. Upaya pengadaan perkereta-apian di tanah Jawa, memang tidak lepas dari ide Kolonel Van der Wijk. Pada tanggal 15 Agustus 1840 beliau mengusulkan kepada pemerintahnya, untuk dibangun transportasi kereta api di tanah Jawa. Tentu saja pembangunan itu mempunyai maksud tertentu. Selain untuk mengangkut hasil perkebunan, juga digunakan untuk menopang upaya pertahanan dan keamanan di wilayah jajahan. Usul tersebut baru terwujud tanggal 17 Juni 1864, ketika Gubernur Jendral Hindia Belanda Mr. LAJ. Baron Sloet Van Den Beele melakukan pencangkulan pertama dalam pembuatan jalur rel kereta api dari Mijen menuju Tanggung. Setelah dua stasiun dan jalur kereta api selesai dikerjakan, maka pada tanggal 10 Agustus 1867 perjalanan kereta api sepanjang 25 km baru digunakan untuk kepentingan umum. Bahkan untuk naik turun penumpang pada jalur yang dilewati kereta api itu, dibangun lagi stasiun Alastuwo dan Brumbung. Guna melengkapi kebutuhan dari pegawainya, dibelakang setasiun Tanggung dibangun rumah dinas Kepala Setasiun. Bangunan rumah berbentuk panggung, yang semuanya terbuat dari kayu-kayu jati pilihan. Rumah dinas tersebut sampai sekarang masih berdiri dengan kokoh, tidak ada yang kropos sedikitpun.
Pembangunan jalur kereta api dikembangkan ke arah Timur, menuju desa Kedungjati yang berjarak 10 km. Ternyata bangunan stasiun kereta api di Kedungjati itu, ternyata lebih besar dibandingkan setasiun Mijen dan stasiun Tanggung. Hal itu mungkin direncanakan, untuk digunakan sebagai tempat persimpangan lintasan ke Solo dan Ambarawa. Dinding bangunan utama dibuat dari batu bata, dengan hiasan pada kusen pintu dan jendela yang kental dengan gaya Eropa. Bangunan utama terbagi beberapa ruang, digunakan untuk ruang kepala setasiun, ruang pengatur perjalanan kereta api, peron, ruang tunggu penumpang dan gudang peralatan. Bangunan utama dipayungi atap seng berkerangka baja, yang ditopang beberapa tiang baja. Karena setasiun itu direncanakan sebagai jalur persimpangan, maka dilengkapi sebuah bangunan depo untuk memperbaiki lokomotif atau kereta-kereta yang mengalami kerusakan. Di emplasemen dibuat sumur pompa, guna mengisi air untuk lokomotif. Di dekat depo disediakan lapangan kecil, guna menampung tumpukan potongan kayu jati sebagai bahan bakar lokomotif. Adapun di sebelah utara setasiun dibangun beberapa rumah dinas, sebagai tempat tinggal kepala setasiun dan para pembantunya.
Pembuatan jalur diteruskan kearah Timur, menuju ke kota Solo. Pembuatan jalur dilaksanakan secara berpetak-petak, sehingga dengan cepat dapat terselesaikan. Sekitar tahun 1870-an jalur tersebut dapat tersambung semuanya, dan sudah dapat dilewati oleh kereta api dari Semarang (Kemijen) sampai ke Solo yang berjarak hampir 110 km.
Bersamaan pembuatan jalur kereta api dari Kedungjati menuju ke Solo, maka dibuatnya juga jalur menuju Ambarawa. Selain jalur kereta api, dibuat juga stasiun Tuntang (Salatiga) dan stasiun Ambarawa yang sekarang menjadi museum kereta api. Dengan demikian fungsi kereta api akhirnya menjadi semakin jelas. Selain untuk mengangkut penumpang dan hasil perkebunan, juga untuk mengangkut serdadu dan peralatan perang bila ada daerah yang membutuhkan. Perlu diingat bahwa waktu itu kota ambarawa adalah sebagai salah satu pusat pertahanan Belanda, dengan telah didirikan beteng Willem Booth atau yang dikenal sebutan beteng pendem sekarang ini.
Bangunan setasiun Kedungjati yang sudah berusia lebih seabad tersebut, sampai sekarang masih berdiri kokoh. Bahkan perumahan yang dihuni beberapa pegawai setasiun, sampai sekarang masih ada dan masih dijadikan sebagai tempat tinggal. Hanya bangunan depo sudah runtuh, karena diterjang angin kencang yang melanda desa Kedungjati beberapa tahun lalu. Jalur kereta api menuju ke Solo, sampai sekarang juga masih digunakan, Tetapi jalur kereta api menuju kota Ambarawa lama tidak dilewati, sekarang banyak yang hilang dicuri orang.





0 komentar: