Setelah rakit yang rusak
selesai diperbaiki, perjalanan dilanjutkan lagi. Tetapi ketika sampai di suatu
pedukuhan (sekarang daerah Ngroto-Gubug), ada salah satu rakit tersangkut pohon
di pinggir sungai. Karena tali pengikat rakit putus, rombongan berhenti untuk
mengikatnya.
Ketika para santri
sedang mengikat rakit, tiba-tiba terdengar suara adzan magrib dari arah dukuh di dekatnya. Para santri bergegas menuju dukuh itu, untuk
melaksanakan sholat. Ketika bertanya pada penduduk, dijawab bahwa
di daerah itu tidak ada surau. Akhirnya para santri melaksanakan sholat pada
sebidang tanah datar, yang terletak di pinggir sungai. Demikian juga waktu
Imsya, suara adzan terdengar kembali. Mereka berusaha mengamati arah
datangnya suara adzan itu. Menurut mereka datangnya suara adzan dari arah Barat Laut, searah dengan kraton Glagahwangi.
Ternyata suara ramai mereka membangunkan penduduk pedukuhan itu. Karena bulan bersinar terang, penduduk mengira sudah pagi. Perawan desa bergegas mengambil padi dari lumbung, untuk ditumbuk menjadi beras. Sebentar kemudian terdengar ramai, suara antan beradu dengan lesung.
Bunyi orang menumbuk padi itu, telah membangunkan ayam milik penduduk pedukuhan. Binatang itu berlari ke tempat orang yang sedang menumbuk padi, untuk mencari ceceran gabah di sekitarnya. Semakin ramailah ditempat itu oleh adanya suara ayam mengais gabah, yang kadang diselingi suara kokok ayam jantan bersahut-sahutan.
Bekas tempat akan
didirikannya masjid tersebut, oleh penduduk pedukuhan diberinya nama ”Batur
Sigit ”, (batur artinya tanah yang tinggi, sedangkan sigit
artinya masjid). Karena tanah itu sampai sekarang terkenal wingit, sehingga
masyarakat desa Ngroto tidak ada yang berani menggunakannya sebagai ladang atau tempat tinggal.
0 komentar:
Posting Komentar