Yang dimaksud kawedanan Singenkidul disini, adalah nama pusat pemerintahan Kawedanan di kabupaten Grobogan. Pemerintahan kawedanan tersebut membawahi 4 wilayah kecamatan, terdiri dari kecamatan Tanggungharjo, Kedungjati, Tegowanu dan Gubug. Sekarang pemerintahan tingkat Kawedanan sudah dihapus, dan tiap kecamatan langsung di bawah pemerintahan kabupaten. Sebagai batasan cerita ini, hanya berkisar di wilayah 4 kecamatan saja. Legenda atau cerita yang ditulis, kebanyakan berkaitan dengan peninggalan atau nama desa yang dipercaya ada hubungan dengan kegiatan pendirian kraton dan masjid Demak. Ada juga cerita lain, yang berhubungan dengan pengembangan agama Islam di wilayah kawedanan Singenkidul.
Bila mengupas pemerintahan tingkat kawedanan, tidak lepas dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda waktu dulu. Semua kebijakan yang diambil, tentu untuk kepentingan pemerintahan mereka. Menurut penjelasan Tim Peneliti UNS (1991), pada tahun 1840 sistem administrasi wilayah dikembangkan seperti pola administrasi di negara Belanda. Berdasar pola tersebut, dikeluarkan Serat Angger-angger Nagari atau Serat Angger-angger Gunung yang menyangkut aturan, tata tertib maupun pemerintahan pedesaan. Pada awalnya untuk menjaga keamanan wilayah, diperlukan pos-pos penjagaan keamanan. Pos-pos penjagaan itu ditempatkan di sepanjang jalan, antara wilayah Surakarta-Semarang dan Surakarta-Yogyakarta-Semarang. Pos-pos penjagaan itu diberi nama pos tundan. Wilayah Gubernemen juga ditertibkan, dengan dibentuk Regenchap atau kabupaten Administratip. Pembentukan pos tundan ditingkatkan, dengan dibentuk Kabupaten Gunung Polisi yang diatur berdasarkan Staatblad 1847 nomor 30. Sedang kelengkapannya diatur berdasarkan Staatblad Van Ned. Indie 1854 nomor 32. Saat itu tugas Bupati adalah sebagai Bupati Prajurit, merangkap Kepala Pengadilan Wilayah yang bertindak sebagai Polisi Daerah. Abdi Dalem Wedono dan Panewu Mantri masuk golongan polisi, yang merangkap pelaksana dalam bidang pemerintahan. Kawedanan Singenkidul awalnya juga merupakan pos tundan. Pada tahun 1847 pos tundan beralih menjadi pemerintahan kawedanan, dan diberi nama kawedanan Singenkidul. Pos tundan itu terletak di desa Rowosari, yang terletak di sebelah barat daya kota Gubug. Sayang tidak ada data yang menjelaskan, mengapa waktu itu letak pos tundan berada di pedesaan yang jauh dari jalan raya. Menurut cerita yang beredar di masyarakat, bahwa pemberian nama Singenkidul diambil dari kata singen (dahulu) berada di sebelah kidul (selatan). Karena letak kantor kawedanan dulu di sebelah Selatan desa Gubug, maka diberi nama kawedanan Singenkidul. Tetapi ada cerita bahwa nama itu diambil dari pohon singen besar, yang tumbuh di halaman kantor. Karena dari jauh hanya pohon singen itu yang tampak, sehingga kantor kawedanan diberi nama Singenkidul. Mana yang benar versi pemberian nama itu, wa llahu a’lam bish shawab.
Menurut cerita, kantor kawedanan Singenkidul itu menghadap ke Utara. Bentuknya sederhana, dinding terbuat dari anyaman bambu dilapisi kotoran lembu dan aspal. Agar tampak bersih, dicat putih menggunakan kapur (gamping). Di halaman kantor terdapat pohon singen, yang tumbuh besar dan rindang. Di depan kantor ada jalan desa, menuju ke Utara dan tembus jalan yang menghubungkan kota Semarang - Salatiga - Demak - Grobogan. Sampai sekarang jalan itu masih ada, yang digunakan penduduk pergi ke sawah. Tetapi sayang, ujung jalan di desa Gubug tertutup terminal bis antar Provinsi. Sebelum kantor kawedanan Singenkidul dipindah ke Gubug, terlebih dahulu dibangun rumah dinas pejabat wedono. Rumah dinas itu sangat besar berbentuk limasan, dilengkapi pendopo yang luas. Di depan kantor didirikan rumah tahanan yang kokoh. Dinding dan pintunya dibuat dari kayu jati tebal, bagian luar dan dalam dicat hitam menggunakan aspal. Dapat dibayangkan, betapa gelap bila berada di dalam rumah tahanan itu. Setelah rumah dan kantor kawedanan selesai dibuat, dipindahnya kantor kawedanan dari desa Rowosari ke desa Gubug. Sayang tidak ada catatan, kapan bangunan kantor itu didirikan. Juga tidak ada data, kapan pindahnya kantor kawedanan dari desa Rowosari ke desa Gubug. Kemungkinan pindahnya kantor kawedanan itu, hampir bersamaan dengan dipindahkannya masjid Gubug dari pinggir sungai Tuntang ke tempat sekarang ini.
Bila pindahnya kantor kawedanan dihubungkan dengan pindah masjid Gubug ke tempat baru, mungkin terjadi sebelum tahun 1900. Dipindahnya masjid Gubug berdasarkan data yang ada, terjadi pada tahun 1902. Bukti tahun kepindahan masjid Gubug, seperti tertera pada prasasti di dalam masjid yang berbunyi : ”Ingkang paring idine pangalihing masjid punika Kanjeng Raden Mas Tumenggung Harjo Purbo Hadiningrat Bupati ing negari Semarang wondene Kanjeng Raden Hamngabehi Hadi Prodjo wedono negari Gubug Bangun Mas Muhammad Naib Al-Qodli Gubug kolo hadeke masjid ing dinten Ahad Legi tanggal 14 Robi’ul Awwal (sanah bin akhir) tahun jim akhir 1322 (H) 1822 tahun (jowo) Syahru 26 Mehi 1902 (M)". Rupa-rupanya wedono Bangun Mas Muhammad masih memegang tradisi budaya Islam zaman dulu, dengan berdirinya suatu kerajaan yang harus dilengkapi masjid. Maka setelah kantor kawedanan dipindahkan, masjid Gubug di bantaran sungai Tuntang dipindah di depannya. Bangunan masjid Gubug dulu, berbentuk rumah adat Jawa model pencu tinggi. Serambi depan berbentuk limasan, dengan dinding terbuat dari kayu jati. Didirikan di atas umpak tinggi, berlantai papan jati. Seluruh bangunan dicat hijau, sehingga menunjukkan suasana teduh dan damai. Berdasarkan data yang ada, diketahui masjid Gubug dibuat tahun 1895 M. Tahun pembuatan masjid dapat dilihat, pada pahatan yang ada pada salah tiangnya. Dalam masjid juga ada mimbar, yang dibuat tahun 1897 M. Tahun itu juga dapat dilihat, dari adanya tulisan tahun pada mimbar. Dibangun juga menara cukup tinggi di sebelah kanan serambi. Di kanan dan kiri serambi masjid, dibuat kolah besar tempat wudlu.